BAB II
PEMBAHASAN
2.1
Proses Islamisasi di Indonesia
Dalam masa
kedatangan dan penyebaran Islam di Indonesia, terdapat negara-negara yang
bercorak Indonesia-Hindu. Di Sumatra terdapat kerajaan Sriwijaya dan Melayu; di
Jawa, Majapahit; di Sunda, Pajajaran; dan di Kalimantan, Daha dan Kutai. Agama
Islam yang datang ke Indonesia mendapat perhatian khusus dari kebanyakan rakyat
yang telah memeluk agama Hindu. Agama Islam dipandang lebih baik oleh rakyat
yang semula menganut agama Hindu, karena Islam tidak mengenal kasta, dan Islam
tidak mengenal perbedaan golongan dalam masyarakat. Daya penarik Islam bagi
pedagangpedagang yang hidup di bawah kekuasaan raja-raja Indonesia-Hindu
agaknya ditemukan pada pemikiran orang kecil. Islam memberikan sesuatu persamaan
bagi pribadinya sebagai anggota masyarakat muslim. Sedangkan menurut alam
pikiran agama Hindu, ia hanyalah makhluk yang lebih rendah derajatnya daripada
kasta-kasta lain. Di dalam Islam, ia merasa dirinya sama atau bahkan lebih
tinggi dari pada orang-orang yang bukan muslim, meskipun dalam struktur
masyarakat menempati kedudukan bawahan.
Proses
Islamisasi di Indonesia terjadi dan dipermudah karena adanya dukungan dua
pihak: orang-orang muslim pendatang yang mengajarkan agama Islam dan golongan
masyarakat Indonesia sendiri yang menerimanya. Dalam masa-masa kegoncangan
politik, ekonomi, dan sosial budaya, Islam sebagai agama dengan mudah dapat
memasuki & mengisi masyarakat yang sedang mencari pegangan hidup,
lebih-lebih cara-cara yg ditempuh oleh orang-orang muslim dalam menyebarkan
agama Islam, yaitu menyesuaikan dengan kondisi sosial budaya yang telah ada.
Dengan demikian, pada tahap permulaan islamisasi dilakukan dengan saling
pengertian akan kebutuhan & disesuaikan dengan kondisi masyarakatnya. Pembawa
dan penyebar agama Islam pada masa-masa permulaan adalah golongan pedagang,
yang sebenarnya menjadikan faktor ekonomi perdagangan sebagai pendorong utama
untuk berkunjung ke Indonesia. Hal itu bersamaan waktunya dengan masa
perkembangan pelayaran dan perdagangan internasional antara negeri-negeri di
bagian barat, tenggara, dan timur Asia.
Penyebaran
Islam merupakan salah satu proses yang sangat penting dalam sejarah Indonesia.
Secara umum ada dua proses yang mungkin telah terjadi. Pertama, penduduk
pribumi mengalami kontak dengan agama islam kemudian menganutnya. Kedua,
orang-orang asing Asia yang telah memeluk agama islam tinggal secara tetap di
suatu wilayah Indonesia .Ruang ligkup kajian sejarah islam, Indonesai sejak
abad 14 sampai abad ke19 yang menjadi perhatian para sejarawan adalah bagaimana
proses masuknya islam di Asia Tenggara termasuk nusantara, darimana asal islam,
siapa yang membawa serta pengaruh yang dihasilkan akibat Islamisasi tersebut.
Pijnappel mengemukakan bahwa asal Islam adalah dari Gujarat/Malabar,
yang dibawa oleh Orang-orang yang bermadzhab syafi’i yang berimigarasi dan
menetap di wilayah India. Snouck Hurgronje, menerangkan islam datang ke
nusantara pada abad ke-12, yan berasal dari anak benua India, dan di bawa oleh
Para pedagang yang sebagai perantara perdagangan Timur Tengah dengan nusantara
datang ke dunia Melayu, kemudian di susul dengan orang-orang arab yang
kebanyakan keturunan Nabi. Moquette, menerangkan bahwa islam berasal
dari Gujarat, yang di bawa oleh Para pengimpor batu nisan dari gujarat dengan
mengimpor batu nisan ini maka orang nusantara mengambil islam.
2.2.1
Proses Islamisasi di Nusantara
Menurut
Hasan Muarif Ambary ada tiga tahap proses islamisasi di Nusantara. Pertama,
fase kehadiran para pedagang muslim (abad ke-1 sampai ke-4 H). Sejak permulaan
abad Masehi kapal-kapal dagang Arab sudah mulai berlayar ke wilayah Asia
Tenggara. Akan tetapi apakah ada data tentang masuknya penduduk asli ke dalam
Islam? Meskipun ada dugaan bahwa dalam abad ke-1 sampai ke-4 H terdapat
hubungan perkawinan antara pedagang muslim dengan penduduk setempat, sehingga
mereka memeluk agama Islam. Pada abad ke 1-4 H / 7-10 M Jawa tidak
disebut-sebut sebagai tempat persinggahan pedagang. Mengenai adanya makam
Fatimah binti Maimun di Leran Gresik dengan angka tahun 475 H/1082 M bentuk
maesan dan jiratnya menunjukkan pola gaya hias makam dari abad ke-16 M. Fatimi
berpendapat bahwa nisan itu ditulis oleh orang Syiah dan ia bukan seorang
muslim Jawa, tetapi seorang pendatang yang sebelumnya bermukim di timur jauh.
1.
Proses
Islamisasi di Sumatera
Aceh, daerah paling barat dari Kepulauan Nusantara, adalah yang pertama sekali
menerima agama Islam. Bahkan di Acehlah kerajaan Islam pertama di Indonesia
berdiri, yakni Pasai. Berita dari Marcopolo menyebutkan bahwa pada saat
persinggahannya di Pasai tahun 692 H / 1292 M, telah banyak orang Arab yang
menyebarkan Islam.
Adanya berita dari Marcopolo yang mengatakan bahwa ketika ia mengunjungi
Sumatera penduduk Sumatera Utara beragama Hindu kecuali Ferlec yang
sudah beragama Islam dan adanya batu nisan kubur di Aceh dengan nama Sultan Al
Malik al-Saleh yang berangka tahun wafat 1297 M menandakan bahwa Islam sudah
tumbuh dan berkembang di wilayah Sumatera. Adapun teori yang mengatakan Islam
masuk Indonesia abad ke-7 M, tidak lebih realitas “masuknya” yang dibawa oleh
para pedagang muslim karena dalam perjalanan pelayaran dagang mereka ke dan
dari Cina selalu singgah.
2.
Proses
Islamisasi di Jawa
Sebelum berdirinya kerajaan-kerajaan Islam, di Jawa telah berdiri
kerajaan-kerajaan Hindu dan kerajaan-kerajaan Budha yang cukup kokoh dan
tangguh, bahkan sampai saat ini hasil peradabannya masih dapat disaksikan.
Misalnya, candi Borobudur yang merupakan peninggalan Budha Mahayana dan kelompok
candi Roro Jonggrang di desa Prambanan dan peninggalan-peninggalan lainnya yang
tersebar di Jawa.Setelah agama Islam datang di Jawa dan Kerajaan Majapahit
semakin merosot pengaruhnya di masyarakat, terjadilah pergeseran di bidang
politik.
Menurut Sartono, Islamisasi menunjukkan suatu proses yang terjadi cepat,
terutama sebagai hasil dakwah para wali sebagai perintis dan penyebar agama
Islam di Jawa. Di samping kewibawaan rohaniah, para wali juga berpengaruh dalam
bidang politik, bahkan ada yang memegang pemerintahan. Otoritas kharismatis
mereka merupakan ancaman bagi raja-raja Hindu di pedalaman.
2.2.2
Persilangan Budaya di Nusantara
Indonesia
secara tepat digambarkan Bung Karno sebagai “taman sari dunia”. Sebagai
“negara kepulauan” terbesar di dunia, yang membujur di titik strategis
persilangan antarbenua dan antarsamudera, dengan daya tarik kekayaan sumberdaya
yang berlimpah, Indonesia sejak lama menjadi titik-temu penjelajahan bahari
yang membawa berbagai arus peradaban.
Menurut
Denys Lombard (1996: I, 1), “Sungguh tak ada satu pun tempat di dunia
ini—kecuali mungkin Asia Tengah—yang, seperti Nusantara, menjadi tempat
kehadiran hampir semua kebudayaan besar dunia, berdampingan atau lebur menjadi
satu.” Dia melukiskan adanya beberapa ‘nebula sosial-budaya’ yang secara kuat
mempengaruhi peradaban Nusantara (secara khusus Jawa): Indianisasi, jaringan
Asia (Islam dan China), serta arus pembaratan.
Pengaruh
Indianisasi (Hindu-Budha) mulai dirasakan pada abad ke-5, bersama kemunculan
dua kerajaan yang terkenal, Kerajaan Mulawarman di Kalimantan Timur dan
Kerajaan Tarumanegara di Jawa Barat sebagai pengikut setia Wisnu, yang kemudian
berkembang secara luas dan dalam hingga seribu tahun kemudian (abad ke-15),
terutama di Sumatra, Jawa dan Bali. Struktur konsentris kosmologi India
berpengaruh pada mentalitas orang-orang di wilayah tersebut, terlebih di Jawa
dan Bali, seperti tampak pada cara berfikir dan sistem tata susila, juga dalam
upacara-upacara dan ungkapan seni.
Pengaruh
Islamisasi mulai dirasakan secara kuat pada abad ke-13, dengan kemunculan
kerajaan-kerajaan Islam awal seperti Kerajaan Samudera-Pasai di sekitar Aceh.
Dari ujung Barat Nusantara, pengaruh Islam secara cepat meluas ke bagian Timur
meresapi wilayah-wilayah yang sebelumnya dipengaruhi Hindu-Budha, yang
akselarasinya dipercepat justru oleh penetrasi kekuatan-kekuatan Eropa di
Nusantara sejak abad ke-16. Kehadiran Islam membawa perubahan penting dalam
pandangan dunia (world view) dan etos masyarakat Nusantara, terutama, pada
mulanya, bagi masyarakat wilayah pesisir. Islam meratakan jalan bagi modernitas
dengan memunculkan masyarakat perkotaan dengan konsepsi ‘kesetaraan’ dalam
hubungan antarmanusia, konsepsi ‘pribadi’ (nafs, personne) yang mengarah pada
pertanggungjawaban individu, serta konsepsi waktu (sejarah) yang ‘linear’,
menggantikan konsepsi sejarah yang melingkar (Lombard, 1996: II,
149-242).
Pengaruh
China hampir bersamaan dan saling meresapi (osmosis) dengan pengaruh Islam,
yang mulai dirasakan setidaknya sejak abad ke-14 (zaman Dinasti Ming di China),
ketika imigran-imigran baru dari Fujian dan Guangdong tiba di Nusantara, dan
segera membaur ke dalam struktur sosial-budaya yang ada tanpa hambatan berarti
(Coppel, 1983). Kehadiran anasir China berperan penting dalam memperkenalkan
dan mengembangkan teknik produksi berbagai komoditi (gula, arak dan lain-lain),
pemanfaatan laut untuk perikanan, pembudidayaan tiram dan udang, dan pembuatan
garam, pengadopsian teknik serta perlengkapan perdagangan, gaya hidup
(arsitektur, perhiasan, hiburan, tontonan, beladiri, dan romannya),
peran sosial-budaya klenteng serta keterlibatan ulama keturunan China dalam
proses Islamisasi (Lombard, 1996: II, 243-337).
Pengaruh
pembaratan diperkenalkan oleh kehadiran Portugis pada abad ke-16, disusul oleh
Belanda dan Inggris. Tetapi aktor utamanya tak pelak lagi adalah Belanda. Sejak
kedatangan armada pertama Belanda di bawah pimpinan Cornelis de Houtman pada
1596, yang disusul oleh operasi ’Serikat Perseroan Hindia Belanda’ (VOC) sejak
1602, secara berangsur proses pembaratan mulai dirasakan. Dengan jatuhnya VOC
pada tahun 1799, hegemoni atas Hindia diserahkan dari
‘perusahaan-swasta-kolonial’ kepada imperium negara-kolonial. Negara kolonial
Belanda mulai menancapkan pengaruhnya setelah kekuasaan sementara Inggris
selama perang Napoleon (1811-1816).
Sejak itu,
sebagian besar kepulauan Nusantara secara berangsur dan berbeda-beda
diintegrasikan ke dalam satu wilayah kekuasaan kolonial, yang
mentransformasikan pusat-pusat kekuasaan yang terpencar ke dalam suatu negara
kesatuan kolonial. Intensifikasi proses pembaratan terjadi selama masa
rezim ‘Liberal’ pada paruh kedua abad ke-19 yang dilanjutkan oleh rezim
‘Politik Etis’ pada awal ke-20 (Latif, 2005).
Pengaruh
pembaratan membawa mentalitas modern yang telah dibuka oleh pengaruh Islam
menuju perkembangan yang lebih luas dan dalam. Pada bidang sosial-ekonomi,
pengaruh Barat memunculkan sistem perkebunan, perusahaan dan perbankan modern,
pemakaian besi, perkembangan angkutan, khususnya kereta api, dan pengobatan
modern. Pada bidang sosial-politik, pengaruhnya dirasakan pada modernisasi
tata-kelola negara dan masyarakat, klub sosial, organisasi, dan bahasa politik
modern. Pada bidang sosial-budaya, pengaruhnya tampak pada kehadiran lembaga
pendidikan dan penelitian modern, perkembangan tulisan latin, percetakan dan
pers, dan gaya hidup (Lombard, 1996: I).
Sedemikian
ramainya penetrasi global silih berganti, sehingga Nusantara sebagai tempat
persilangan jalan (carrefour) tidak pernah sempat berkembang tanpa gangguan dan
pengaruh dari luar. Akan tetapi, seperti dikatakan oleh Denys Lombard (1996),
situasi demikian tidak perlu dipandang sebagai kerugian. Posisi sebuah negeri
pada persilangan jalan, pada titik pertemuan berbagai dunia dan kebudayaan,
jika dikelola secara baik, mungkin dalam evolusi sejarahnya bisa membawa
keuntungan, kalau bukan syarat untuk terjadinya peradaban agung.
Salah satu
contoh silang budaya Indonesia Tiongkok di bidang seni musik:
1.
Gambang
kromong terdapat banyak lagu Tionghoa. Perkembangan music itu erat kaitannya
dengan warga Tionghoa di Jakarta pada abad ke 18 yang bernama Nie Fugong.
Justru atas prakarsa Nie lah, Gambang Kromong telah menyerap irama lagu-lagu
Tionghoa.
Kemudian,
Gambang Kromong mengiringi tidak saja lagu-lagu lama Jakarta, tapi juga
lagu-lagu baru. Gambang Kromong tak dapat dipisahkan pula dengan music lenong.
Namun, Gambang Kromong semakin terdesak seiring bertambah besarnya pengaruh
music barat. Kawula muda kurang menunjukan minat terhadap Gambang Kromong. Dan,
instrument yang digunakan di samping gambang, yakni alat-alat music Tingkok
lain seperti qin dan erhu (rebab berdawai dua) berangsur-angsur digantikan oleh
alat-alat music barat, seperti bilao, bass, dan suling; kadang-kadang bahkan
menggunakan saksofon, terompet dan alat-alat music barat lainnya.
2.
Musik Ujung
Pandang
3.
Lagu
Indonesia di gemari Rakyat Tiongkok
Pada masa
kini, salah satu lagu Indonesia yang paling awal popular di tingkok adalah
“Bengawan Solo” yang sangat merdu iramannya. Komponis lagu itu, Gesang ketikan
berkunjung di Tiongkok pada tahun 1963 pernah memberikan bimbingan kepada
musisi muda Tiongkok untuk memainkan music tersebut. Lagu ini sangat digemari
rakyat Tiongkok.
2.2.3
Bukti-bukti Peninggalan Islam di
Indonesia
1. Masjid Agung Banten (bangun beratap tumpang)
2. Masjid Demak (dibangun para wali)
3. Karya seni atau kaligrafi
4. Nisan Di Leran, Gresik (Jawa
timur) terdapat batu nisan bertuliskan bahasa dan huruf Arab, yang memuat
keterangan tentang meninggalnya seorang perempuan bernama Fatimah binti Maimun
yang berangka tahun 475 Hijriah (1082 M).
5. Karya sastra
Karya sastra yang dihasilkan cukup beragam. Para seniman muslim
menghasilkan beberapa karya sastra antara lain berupa syair, hikayat, suluk,
babad, dan kitab-kitab.Bukti-bukti peninggalan syair yang ada di nusantara
antara lain:
a. Syair Perahu,karya Hamzah Fanzuriyang hidup di aceh pada masa pemerintahan
sultan Alaidin Riayat Syah Syidil Mukam II (1589-1604),Syair ini berisi
pengajaran tentang adap.
b. Syair Kompeni Walanda,yang di dalamnya berisitentang riwayat Nabi.
2.2
Pertumbuhan Lembaga Sosial dan Politik
(Kerajaan-kerajaan)
Awalnya
pemerintah kolonial memberikan kemerdekaan kepada umat Islam untuk melaksanakan
ajaran agamanya sepanjang tidak mengganggu kekuasaan pemerintah Belanda.
Sedangkan dalam bidang politik, pemerintah melarang keras orang Islam membahas
hukum Islam baik dari Al-Qur’an maupun Sunnah yang menerangkan tentang politik kenegaraan atau ketatanegaraan.
Pengaruh politik Islam yang semakin kuat serta posisi ekonomi Indonesia yang
berkembang, akibat pelayaran internasional dengan pedagang muslim Arab, membuat
pemerintah Portugis dan Belanda mulai tergoda untuk menjalin hubungan
dengan penguasa pedagang di Indonesia (Asia Tenggara). Lambat laun mereka
berkeinginan menguasai Indonesia dengan cara permainan politik. Dengan pengalaman
itu, orang Islam bangkit dengan menggunakantaktik baru, bukan dengan perlawanan
fisik tetapi dengan membangunorganisasi. Akibat dari situasi ini timbullah
perkumpulan-perkumpulan politik baru dan muncullah pemikir-pemikir
politik yang sadar diri. SepertiBudi Utomo, Serikat Islam, Taman Siswa,
Muhammadiyah, Nahdatul Ulama, dan lain-lain.
2.3
Perkembangan Peradaban
Ketika Islam
datang, sebenarnya kepulauan nusantara (Indonesia) sudah mempunyai peradaban
yang bersumber kebudayaan asli pengaruh dari peradaban hindu-budha di
India. Meskipun demikian Islam cepat menyebar.Hal ini disebbkan Islam yang
dibawa oleh kaum pedagang maupun para Da’idan ulama masa awal, mereka semua
menyiarkan suatu rangkaian ajaran dancara serta gaya gaya hidup yang secara
kuantitatif lebih maju dari peradabanyang ada. Bukti-bukti Perkembangan
peradaban dan keagamaan di Indonesia adalah:
a. Sebelum
Kemerdekaan
Sebelum
Indonesia merdeka Islam telah berkembang danmempunyai peradaban yang
mencerminkan kemuliaan agama Islam,diantaranya adalah:
1.
Adanya
birokrasi keagamaan, dimana kedudukan ulama sebagai penasehat raja,
terutama dalam bidang keagamaan terdapat dikerajaan-kerajaan Islam.
2.
Ulama dan
ilmu-ilmu keagamaan
Penyebaran
dan pertumbuhan kebudayaan Islam di Indonesia terletak di pundak para ulama.
Ada dua cara yang dilakukan paraulama dalam pengembangan ilmu-ilmu keagamaan,
yaitu: membentuk kader-kader ulama dan menyebarkan karya-karya ke berbagai
tempat yang jauh.
3.
Adanya
arsitek bangunan yang menghasilkan seni-seni bangunan yang bercorak Islam
seperti masjid, ukiran, candi dansebagainya.
b. Setelah
Kemerdekaan
1.
Berdirinya
departemen agama
2.
Berdirinya
lembaga-lembaga pendidikan
3.
Adanya hukum
Islam
4.
Terlaksananya
haji
5.
Berdirinya
majelis ulama Indonesia
(MUI)
BAB III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Proses
islamisasi tidak mempunyai awal yang pasti, juga tidak berakhir. Islamisasi
lebih merupakan proses berkesinambungan yang selain mempengaruhi masa kini,
juga masa yang akan datang.Islam telah dipengaruhi oleh lingkungannya, tempat
Islam ber-pijak dan berkembang. Di samping itu, Islam juga menjadi tra-disi
tersendiri yang tertanam dalam konteks.
Agama Islam
juga membawa perubahan sosial dan budaya, yakni memperhalus dan
memperkembangkan budaya Indonesia. Penyesuaian antara adat dan syariah di
berbagai daerah di Indonesia selalu terjadi, meskipun kadang-kadang dalam taraf
permulaan mengalami proses pertentangan dalam masyarakat. Meskipun demikian,
proses islamisasi di berbagai tempat di Indonesia dilakukan dengan cara yang
dapat diterima oleh rakyat setempat, sehingga kehidupan keagamaan masyarakat
pada umumnya menunjukkan unsur campuran antara Islam dengan kepercayaan
sebelumnya. Hal tersebut dilakukan oleh penyebar Islam karena di Indonesia
telah sejak lama terdapat agama (Hindu-Budha) dan kepercayaan animisme.
Pada umumnya
kedatangan Islam dan cara menyebarkannya kepada golongan bangsawan maupun
rakyat umum dilakukan dengan cara damai, melalui perdagangan sebagai sarana
dakwah oleh para mubalig atau orang-orang alim. Kadang-kadang pula golongan
bangsawan menjadikan Islam sebagai alat politik untuk mempertahankan atau
mencapai kedudukannya, terutama dalam mewujudkan suatu kerajaan Islam.
DAFTAR PUSTAKA
.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modem
(Yogyakarta: Gadjah Mada University Press,1991), him.
Azyumardi Azra, Islam Nusantara: Jaringan
Global dan Lokal (Bandung: Mizan, 2002) hlm.20-21
] P.A. Hosein Djadjadiningrat, “Islam di Indonesia”,
dalam Kennet Morgan, ed., Islam Djalan Mutlak, terj. Abu Salamah, ddk.
(Djakarta : PT. Pembangunan, 1963), hlm. 99-140
Buku Silang Budaya Tiongkok Indonesia – Prof Kong
Yuanzhi