A. Latar Belakang
Wilayah
kekuasaan Abbbasiyah pada periode pertama hingga masa keruntuhan sangat luas, meliputi berbagai bangsa yang
berbeda, seperti Maroko, Mesir, Syria, Persia, Turki dan India. Penyebab
mengapa banyak daerah yang memerdekakan diri adalah terjadinya kekacauan atau
perebutankekuasaan di pemerintahan pusat yang dilakukan oleh bangsa Persia dan
Turki.
Dalam peradapan umat Islam, Bani Abbasiyah merupakan
salah satu bukti sejarah peradapan Islam yang terjadi. Bani Abbasiyah merupakan
masa pemerintahan umat Islam yang memperoleh masa kejayaan yang gemilang. Pada
masa ini banyak kesuksesan yang diperoleh Bani Abbasiyah, baik itu dibidang
ekonomi, politil, dan ilmu pengetahuan.
Hal ini perlu diketahui sebagai acuan semangat bagi
generasi ummat Islam bahwa peradapan ummat Islam itu pernah memperoleh masa
keemasan yang melampaui kesuksesan Negara-negara eropa. Dengan mengetahui bahwa
dahulu peradapan umat Islam itu diakui oleh seluru dunia, maka akan memotivasi
sekaligus menjadi ilmu pengetahuan tentang sejarah peradapan umat Islam bahkan
untuk mengulangi masa keemasan tersebut.[1]
Daerah-daerah kecil dinasti Abbasiyah, banyak yang melepaskan
dan memerdekakan diri dari pemerintahan. Setelah memerdekakan diri dari
kekuasaan Abbasiyah, kebanyak dari mereka membangun dan menjadikan wilayah
tersebut menjadi dinasti-dinasti kecil yang berdiri secara independen dan
berusaha untuk meluaskan wilayah kekuasaan dengan menaklukkan daerah-daerah
sekitarnya. Mereka melepaskan diri dengan cara, pertama, seoranmg
pemimpin lokal suatu pemberontakan dan berhasil memperoleh
kemerdekaan penuh, seperti dinasti Idrisiyah, kedua seorang yang
ditunjuk oleh khalifah dan kedudukannya semakin bertambah kuat
B. Dinasti-dinasti Kecil di Barat Baghdad
1.
Idrisi di Maroko
(172 H/789 M)
a.
Kemunculan Bani
Idrisi
Setelah Imam Ali bin Abi Thalib terbunuh, keturunan Ali r.a
terus berjuang memperoleh kekuasaan. Diantaranya adalah pemberontakan yang
dilakukan oleh Imam Husen Ibn Ali di Madinah pada zaman dinasti Umayah. Dalam
perang tersebut, Imam Husen terbunuh di Karbala,[1] dan salah seorang
keluarganya, Idris Ibn Abdillah, melarikan diri ke Mesir dan bergabung dengan
Ishaq Ibn „Abd al-Hamid (kepala suku Awraba). Kemudian Idris Ibn Abd Allah
dibaiat oleh suku Awraba di Maroko sebagai pemimpin mereka,[2] kemudian
diikuti oleh kabilah-kabilah lain yang menghuni kawasan yang sekarang dikenal
dengan Marakisy, maka berdirilah dinasti Idrisi di Maroko. [3]
Akan tetapi, keberhasilan Muhammad Ibn Idris membuat
khalifah Harun al-Rasyid di Baghdad merasa khawatir. Oleh karena itu, khalifah
Harun al-Rasyid mengutus seorang mata-mata yang bernama Sulaiman Jarir.
Mata-mata ini kemudian berhasil membunuh Muhammad Ibn Idris pada tahun 175
H/791 M.[4]
b.
Keunggulan Bani
Idrisi
Muhammad Ibn Idris sukses memimpin masyarakat di Maroko
sehingga memiliki tentara dan juga dapat melakukan ekspansi ke wilayah lain.[5] Banyak hal yang sudah
dihasilkan oleh Idris I dan Idris II putranya dalam membangun Idrisiyah,
diantaranya:
Idris I dan putranya Idris II telah berhasil mempersatukan suku-suku BarBr, imigran-Imigran Arab yang berasal dari Spanyol dan Tripolitania di bawah satu kekuasaan politik. mampu membangun Kota Fez sebagai pusat perdgangan. Pusat Kota Suci, tempat tinggal kaum Shorfa (orang-orang terhormat keturunan Nabi dari Hasan dan Hussein bin Ali bin Abi Thalib. Didirikan Mesjid Fathima dan Universitas Qairawan yang terkenal. Di samping itu, pertahanan dan keamanan cukup kuat, terbukti adanya Idris dan pasukannya dapat menahan pasukan Romawi dan mempertahankan wilayahnya.
Idris I dan putranya Idris II telah berhasil mempersatukan suku-suku BarBr, imigran-Imigran Arab yang berasal dari Spanyol dan Tripolitania di bawah satu kekuasaan politik. mampu membangun Kota Fez sebagai pusat perdgangan. Pusat Kota Suci, tempat tinggal kaum Shorfa (orang-orang terhormat keturunan Nabi dari Hasan dan Hussein bin Ali bin Abi Thalib. Didirikan Mesjid Fathima dan Universitas Qairawan yang terkenal. Di samping itu, pertahanan dan keamanan cukup kuat, terbukti adanya Idris dan pasukannya dapat menahan pasukan Romawi dan mempertahankan wilayahnya.
Sepanjang pemerintahan Yahya I, Fez
telah mencapai puncak kemakmurannya dengan menjadi salah satu pusat perdagangan
yang menghubungkan antara Afrika dan Eropa. Selama pemerintahan Yahya yang
damai, banyak imigran dari Andalusia dan daerah Afrika lainnya berdatangan ke
Fez. Kota ini lalu berkembang dengan pesat, baik dari segi penduduk maupun pembangunan
gedung-gedungnya. Di antara gedung yang dibangun pada masa itu ialah dua
masjid, Qarawiyyin dan Andalusia, yang didirikan pada tahun 859 M. Kota Fez
kemudian dianggap sebagai kota suci, tempat tinggal kaum syorfah (kaum syurafa’
atau orang-orang mulia) keturunan istimewa Nabi.
Ira M. Lapidus mengatakan, bahwa meskipun wilayah pemerintahannya relatif kecil, Dinasti Idrisiyah merupakan negara Maroko-Islam yang pertama, dan merupakan pusat perjuangan Islam yang aktif.
Ira M. Lapidus mengatakan, bahwa meskipun wilayah pemerintahannya relatif kecil, Dinasti Idrisiyah merupakan negara Maroko-Islam yang pertama, dan merupakan pusat perjuangan Islam yang aktif.
c. Kemunduran dan Kehancuran Bani Idrisi
Salah satu penyebab kemunduran Dinasti
Idrisiyah adalah karena kelemahan pemerintahnya yang tidak dapat dipungkiri.
Kelemahan itu kelihatan pada ketidakmampuan mengontrol daerah-daerah pedalaman
dan pesisir. Akibat dari kelemahan itu, Dinasti Idrisiyah sama sekali tidak
mampu, baik secara geografis maupun ideologis untuk memperlebar wilayah
perbatasan yang telah dirintis dan dikoordinasi oleh Idris I.[6]
Kondisi chaos ini diperparah dengan terjadinya pemberontakan kaum Khawarij
melawan pemerintahan Idrisiyah yang Syi’ah. Perdagangan menjadi berkurang,
kemakmuran mengalami decline, kemelaratan merajalela di mana-mana. Selanjutnya,
pada tahun 881 sebuah gempa bumi yang dahsyat melanda negara, menghancurkan
bangunan-bangunan dan mengubur banyak penduduk di bawah puing-puing bangunan,
sementara itu ketakutan dan penyakit melanda desa-desa. Saat itu sungguh
menjadi era miring bagi pemerintahan Dinasti Idrisiyah, sehingga para
sejarahwan pun sulit menentukan tahun yang pasti pada pemerintahan Idrisiyah
antara Yahya I dan Yahya IV.
Pada tahun 922, tiba-tiba Fatimiyah
memutuskan untuk memecat Yahya IV dan memasukkan wilayah Magrib kedalam
kekuasaannya, yang mengakhiri masa kekuasaan Dinasti Idrisiyah yang telah
memerintah di Afrika Utara selama sekitar seratus empat puluh tahun. [7] Juga
di antara faktor yang membawa kepada surutnya kekuasaan Dinasti Idrisiyah
adalah setelah Khalifah Harun al-Rasyid mengangkat Ibrahim bin Aglab sebagai
gubernur Afrika Utara yang beraliran Sunni. Ibrahim bin Aglab sengaja diangkat
oleh Khalifah Harun al-Rasyid untuk membendung bahaya Dinasti Idrisiyah dan
kaum Khawarij.
2. Dinasti Aghlabi di Tunis (184-296 H/800-908 M)
a. Kemunculan Dinasti Aghlabi
Dinasti Aghlabiyah[8] adalah salah satu Dinasti
Islam di Afrika Utara yang berkuasa selama kurang lebih l00 tahun (800-909 M). [9] Wilayah kekuasaannya
meliputi Ifriqiyah, Algeria dan Sisilia. Dinasti ini didirikan oleh Ibnu
Aghlab.[10] Awal mula terbentuknya
Dinasti tersebut yaitu ketika Harun ar-Rasyid menempatkan balatentara di
Ifrikiyah di bawah pimpinan al-Aglab.[11] Sehingga berdirilah
Dinasti kecil (Aghlabiyah) yang berpusat di Ifrikiah yang mempunyai hak otonomi
penuh. Meskipun demikian masih tetap mengakui akan kekhalifahan Baghdad.[12]
Pendiri Dinasti ini adalah Ibrahim ibn al-Aghlab pada tahun
800 M. Pada tahun itu Ibrahim diberi provinsi Ifriqiyah (Tunisia Modern) oleh
Harun al-Rasyid sebagai imbalan atas pajak tahunan yang besarnya 40.000 dinar dan meliputi hak-hak otonom yang
besar.[13] Untuk menaklukkan wilayah
baru dibutuhkan suatu proses yang panjang dan perjuangan yang besar, namun
tidak seperti Ifriqiyyah yang sifatnya adalah pemberian. [14]
b. Keunggulan Bani Aghlabiyah
Pemerintahan Aghlabiyah pertama berhasil memadamkan gejolak
yang muncul dari Kharijiyah Barbar di wilayah mereka. Kemudian di bawah
Ziyadatullah I, Aglabiyah dapat merebut pulau yang terdekat dari Tunisia, yaitu
Sisilia dari tangan Byzantium 827 M, dipimpin oleh panglima Asad bin Furat.[15]
Kemudian Aglabiyah melanjutkan serangan-serangannya ke pulau
lainnya dan pantai-pantai di Eropa, termasuk berhasil menaklukan kota-kota
pantai Italia Brindisi (836/221 H.) Napoli (837M), Calabria (838 M), Toronto
(840 M ), Bari (840 M), dan Benevento (840 M).[16] Pasukan Aglabiyah juga
berhasil menguasai kota Regusa di pantai Yugoslavia (890 M), Pulau Malta (869
M), menyerang pulau Corsika dan Mayorka, bahkan mengusai kota Portofino di
pantai Barat Italia (890), kota Athena di Yunani-pun berada dalam jangkauan
penyerangan mereka. Dengan keberhasilan penaklukan-penaklukan tersebut,
menjadikan Dinasti Aglabiyah kaya raya, para penguasa bersemangat membagun
Tunisia dan Sisilia. Ziyadatullah I membangun masjid Agung Qairuan, sedangkan
Amir Ahmad membangun masjid Agung Tunis dan juga membangun hampir 10.000
benteng pertahanan di Afrika Utara. Tidak cukup itu, jalan-jalan, pos-pos,
armada angkutan, irigasi untuk pertanian (khususnya di Tunisia Selatan, yang
tanahnya kurang subur), demikian pula perkembangan arsitektur, ilmu, seni dan
kehidupan keberagamaan. Selain sebagai ibu
kota Dinasti Aghlabiyah, Qoiruan juga sebagai pusat penting munculnya mazhab
Maliki, tempat berkumpulnya ulama-ulama terkemuka, seperti Sahnun yang wafat
(854 M) pengarang mudawwanat, kitab fiqih Maliki, Yusuf bin Yahya, yang wafat
(901 M), Abu Zakariah al-Kinani, yang wafat (902 M), dan Isa bin Muslim, wafat
(908 M). Karya-karya para ulama-ulama pada masa Dinasti Aghlabiyah ini
tersimpan baik di Masjid Agung Qairuan. [17]
c. Kemunduran
Dinasti Aghlabiyah
Menjelang akhir abad IX, posisi Aghlabiah di Ifqriqiyah
menjadi merosot. Hal ini disebabkan karena amir terakhirnya yaitu Ziyadatullah
III tenggelam dalam kemewahan (berfoya-foya), dan seluruh pembesarnya tertarik
pada Syi’ah, juga propaganda Syi’iah,
Abu Abdullah. Perintis Fatimiyah, Mahdi Ubaidillah mempunyai pengaruh
yang cukup besar di Barbar, yang akhirnya menimbulkan pemberontakan militer,
dan Dinasti Aghlabiyah dikalahkan oleh Fatimiyah (909 M), Ziyadatullah III di
usir ke Mesir setelah melakukan upaya-upaya yang sia-sia demi untuk mendapatkan
bantuan dari Abbasiah untuk menyelamatkan Aghlabiah.[18]
3.
Dinasti Thulun di
Mesir (254-292 H/868-905 M)
a. Kemunculan Dinasti Thuluniyah
Pendiri Dinasti Thulun yang berumur pendek (Daulah 868-905)
di Mesir dan Suriah adalah Ahmad Ibn Thulun.Bakbak adalah seorang pemimpin
militer yang berkebangsaan Turki yang diberi jabatan wali (setingkat gubernur)
untuk kawasan Mesir oleh al-Mu‟taz
(862-866 M) dari dinasti Bani Abbas. Bakbak kemudian memberikan jabatan
tersebut kepada asistennya, Ahmad Ibn Thulun[19] pada tahun 254 H/868 m.
Di bawah kepemimpina Thulun, Mesir[20] menjadi wilayah yang
merdeka dari pemerintahan Abasiyah di Baghdad. Tuluniyah adalah sebuah dinasti
yang muncul dan berkuasa di Mesir dan Suriah, independent dari
khalifah-khalifah Abbasiyah.[21]
b. Keunggulan Dinasti Thuluniyah
Pada waktu itu, dibangun Mesjid Jami Ibn Thulun[22] yang masih terpelihara
sampai sekarang, dan Fusthath dijadikan pusat pemerintahan. Puncak dinasti
Thuluniah di Mesir adalah pada zaman Khumariyah Ibn Ahmad Ibn Thulun (270-282
H/884-895 M). selain masjid Ahmad ibn Thulun, [23] Peninggalan dinasti
Thuluniyyah yang lain adalah situs arkeologis berupa saluran air (al-qanâthir)
Ahmad ibn Thulun[24],
dan al-Bimaristan atau al-Maristan.[25]. Seperti perawatan
saluran air dan perbaikan menara di Alexandria. Salah satu bangunan Islam yang
lainnya yang terhitung istimewa adalah istana khumarawih (844-895), bangunan
yang ditinggali anak sekaligus penerus ahma.[26]
c. Kemunduran dan Kehancuran Dinasti Thuluniyah
. Setelah Khumariyah meninggal, terjadi konflik internal
yang menghancurkan ekonomi dan militer Thuluniyah. Dalam situasi konflik
internal Thuluniah, dinasti Abasiyah berhasil menundukan Dinasti Thulun.[27] Kematian Khumarawih pada
895 (282H) Merupakan awal kemunduran dinasti itu. Persaingan yang hebat antara
unsure-unsur pembesar dinasti telah memecah persatuan dalam dinasti. Amir yang
ketiga, Abu al-Asakir bin khumarawih, dilawan oleh sebagian pasukannya dan
dapat disingkirkan (896/283 H) Adiknya yang baru berusia 14 tahun, Harun bin
Khumarawih, diangkat sebagai amir yang keempat. Akan tetapi kelemahan sudah sedemikian
rupa, sehingga wilayah syam dapat direbut oleh pasukan Qaramitah. Amirnya yang
kelima , Syaiban bin Ahmad bin thulun, hanya 12 hari saja memerintah, Karna ia
menyerah ketangan pasukan Bani Abbas yang menyerang Mesirpada 905 (292H), dan
demikian berakhirlah riwayat dinasti thuluniyah.[28]
4.
Dinasti Samani
(261-389 H./874-999 M)
a. Kemunculan Dinasti Samani
Orang-orang Alawiy yang tersingkir dari struktur
pemerintahan Abbasiyah pasca pemberontakan Abu As-Saraya (814-815 M) membangun
kembali masa kejayaan Islam di kawasan Transoksania. Asad Ibn abdullah ibn
Saman diberi kewenangan oleh al-Ma’mun untuk memimpin daerah Transoxiana. Nashr
bin Ahmad Samani[29] (874-892 M), gubernur Transoksania, adalah
orang yang pertama kali merintis kekuasaan Dinasti Saman.[30] Wilayah kekuasaannya,
pertama kali, meliputi Khurasan dan Transoksania. Kemudian dinasti kecil ini
menaklukan wilayah-wilayah di sekitarnya sehingga berhasil menguasai
Transoxiana, Khurasan, Sajistan, Karman, Jurjan, Rayy, dan Tabaristan. Dinasti
Samani berkuasa hingga Khurasan setelah berhasil membantu Khalifah Abasiaah
(al-Mutaddid) menangkap dan memenjarakan Amr Ibn al-Laits (khlaifah dinasti
Safari terakhir).[31] Dinasti ini berbeda
dengan dinasti kecil lain yang berada di sebelah barat Baghdad, dinasti ini tetap
tunduk kepada kepemimpinan khalifah Abbasiyyah.
b. Masa Keemasan Dinasti Samani
Puncak kejayaan Dinasti Saman pada masa kekuasaan Nashr bin
Ahmad bin Ismail Samani (914-943 M). Dia berhasil menguasai wilayah Sijistan,
Isfahan, Karman, Jurjan, Ray, Tabaristan, dan Transoksania. Kekuasaannya kemudian membentang luas sampai di belahan timur pusat Dinasti
Abbasiyah. Dalam sejarah Samaniyah terdapat dua belas khalifah yang memerintah
secara berurutan.[32]
Pada masa kekuasaan Nashr bin Ahmad bin Ismail Samani, istana
Dinasti Saman menjadi pusat kekuasaan sekaligus pengembangan ilmu pengetahuan.
Salah seorang pejabat istana Dinasti Saman, Muhammad Yusuf Al-Khawarizmi (wafat
997 M), yang dikenal sebagai pakar matematika dan astronomi, menyumbangkan
gagasannya lewat karya ensiklopedi Mafatih Al-‘Ilm. Pada waktu itu, lahir ulama
besar yang melahirkan karya-karya besar. Diantara mereka adalah Umar Khayyam[33], Zakaria al-Razi,[34] dan al-Farabi[35]. Dinasti ini telah
berhasil menciptakan kota Bukhara dan Samarkan sebagai kota budaya dan kota
ilmu pengetahuan yang sangat terkenal di seluruh dunia, sehingga kota ini dapat
menyaingi kota-kota lain, seperti Baghdad dan Cordova. Dinasti ini juga telah
berhasil mengembangkan perekonomian dengan baik.[36]
Selain mendukung pengembangan ilmu pengetahuan, rezim Saman
juga membangun perpustakaan-perpustakaan di beberapa kota. Dampaknya cukup
signifikan. Salah seorang Ilmuwan Muslim lahir pada masa dinasti ini.
Fakhruddin Al-Razi, ilmuwan muslim terkemuka menulis karya Al-Manshuri, yang
didedikasikan secara khusus kepada Abu Shaleh Al-Manshur, seorang kemenakan
penguasa Dinasti Saman. Di samping pengembangan ilmu pengetahuan, sastra dan
kebudayaan Persia bercorak Islam mencapai puncak kejayaannya. Ahmad Ad-Daqiqi
salah seorang pujangga besar Persia menulis karya Shah Namah (Kitab Para Raja)
berisi 60.000 bait kisah moral dan teladan, yang didedikasikan kepada Nuh bin
Manshur (976-997 M), salah seorang penguasa dinasti ini. Karya Ahmad Daqiqi ini
kemudian disempurnakan oleh Ahmad Al-Firdausi.[37] Kota pentingnya ialah Syiraz[38], Bukhara[39], dan Samarkand[40].
c. Masa Kemunduran dan Keruntuhan Dinasti Samani
Pada sa’at dinasti mencapai kejayaannya, banyak imigran
Turki yang menduduki posisi penting dalam pemerintahan, namun bersebab dari
tingginya fanatic kesukuan pada dinasti ini, akhirnya mereka para imigran Turki
yang menduduki jabatan penting dalam pemerintahan tersebut banyak yang dicopot,
langkah-langkah inilah yang menyebabkan kehancuran dinasti ini, karena mereka
tidak terima dengan perlakuan tersebut, sehingga mereka mengadakan penyerangan
sampai mereka berhasil melumpuhkan dinasti ini.
Dinasti Saman terlalu lemah untuk meredam pemberontakan pada
masa Ismail bin Nuh II (1001-1005 M).[41] Rezim Saman kemudian
berkoalisi dengan para penguasa di Mosul (Dinasti Hamdan), tetapi justru malah
memicu konflik internal yang berakhir damai. Secara berangsur-angsur, Dinasti
Saman terus melemah. Kekuasaannya harus berhadapan dengan Dinasti Buwaihi yang
menguasai Persia, Ray, dan Irak. Ismail bin Nuh II terbunuh pada tahun 1005 M.
Inilah akhir episode kekuasaan orang-orang Alawiy di wilayah Transoksania.[42]
5.
Dinasti Hamdani di Jazirah Arabia
a. Kemunculan Dinasti Hamdani
Pada waktu dinasti Ikhsidiyah berkuasa di sebelah utara
Mesir muncul pula dinasti lain sebagai saingannya, yaitu dinasti Hamdaniyah
yang Syi’i.[43]
Dinasti ini didirikan oleh
Hamdan Ibn Hamdun Ibn al-Harits, seorang amir dari suku Taghlib, yang didirikan adalah pada akhir abad
ketiga hijriah.[44] Wilayah kekuasaan dinasti ini terbagi dua bagian, yaitu wilayah kekuasaan
di Mosul dan wilayah kekuasaan di Halb ( Aleppo ). [45]
b. Keunggulan Dinasti Thulun
Pada tahun 944, dinasti ini berhasil menaklukan Syuriah dan
bertahan sampai tahun 1003 M. Abu Hayja diangkat menjadi gubernur Mosul oleh
al-Muktafi. Berdirinya dinasti Hamdani di Syuriah bersamaan dengan bangkitnya
Byzantium di Macedonia. Oleh karena itu, sebagian besar waktunya digunakan
untuk mempertahankan wilayah dari serangan Byzantium. Wilayah
kekuasaan di Aleppo, terkenal sebagai pelindung kesusastraan Arab dan Ilmu
Pengetahuan. Pada masa itu pula muncul tokoh- tokoh cendekiawan besar seperti
Abi al Fath dan Utsman Ibn Jinny yang menggeluti bidang Nahwu, Abu Thayyib al
Mutannabi, abu Firas Husain Ibn Nashr ad daulah, Abu A’la al Ma’ari, dan Syaif
ad Daulah sendiri yang mendalami ilmu sastra, serta lahir pula filosof
besar, yaitu Al- Farabi.[46]
c. Kemunduran
dan Kehancuran Dinasti Hamdani
Mengenai jatuhnya dinasti ini terdapat beberapa faktor. Pertama,
meskipun dinasti ini berkuasa di daerah yang cukup subur dan makmur serta
memiliki pusat perdagangan yang strategis, sikap kebaduiannya yang tidak
bertanggung jawab dan destruktif tetap ia jalankan sehingga rakyat menderita. Kedua,
bangkitnya kembali Dinasti Bizantium di bawah kekuasaan Macedonia menyebabkan
dinasti Hamdaniyah tidak bisa menghindari invasi serangan Bizantium yang
energik sehingga Aleppo dan Himsh terlepas dari kekuasaannya. Ketiga,
kebijakan ekspansionis Fatimiyah ke Suriah bagian selatan, sampai mengakibatkan
terbunuhnya Said ad Daulah yang tengah memegang tampuk kekuasaan Hamdaniyah.
Hingga dinasti ini jatuh ke tangan dinasti Fatimiyah.[47]
6.
Dinasti Ikhsyidi
(934-967 M)
a. Kemuculan Dinasti Ikhsidy
Dinasti ini didirikan oleh Muhammad Ibn Thugi (Turki) yang diberi gelar al- Ikhsidi (pangeran) pada tahun 934 M
setelah berakhirnya dinasti Thulun. Muhammad Ibn Thugi berhasil mempertahankan
sungai Nil dari serangan Fatimiah yang berpusat di Afrika Utara. [48] Sebagai imbalan atas
keberhasilan tersebut, Khalifah al-Radhi (932-934 M) dari dinasti Bani Abbas
mengangkatnya sebagai gubernur Mesir. Dinasti ini berkuasa antara tahun 934
sampai 941 M. [49]
b. Keunggulan Dinasty Ikhsidy
Setelah dua tahun berkuasa di Mesir, dinasti ini berhasil
menundukan Syiria, Palestina, Mekkah, dan Madinah.[50] Pada zaman Ikhsyidi, di
Mesir didirikan Syuq al-Wariigin, tempat melakukan pengkajian dan pengembangan
intelektual. Pada masa dinasti Iksidiyah ini pula terjadi peningkatan
dalam dunia keilmuan dan gairah intelektual, seperti mengadakan diskusi-
diskusi keagamaan yang berpusat di masjid- masjid. Sewaktu Iksidi wafat, kedua
putranya belum dewasa. Oleh karena itu, kekuasaan dilimpahkan kepada gurunya,
Kafur al Ikhsidi. Kafur memproklamirkan diri sebagai wali. Berkat kepandaian
Kafur, gerak maju Fathimi di sepanjang pantai Afrika Utara dapt ditahan, begitu
pula dinasti Hamdani di Syiria Utara. Pada fase ini tercatat nama besar
di bidang intelektual, Muhammad Ibn al-Tamimi, Abu Ishaq al-Marwaji, Abu Amr
Amr al-Hindi. Disamping itu, mereka juga meninggalkan istana al-Mukhtar, taman
Bustan al-Kafur, dan Maidan al-Ikhsyd (sebuah gelanggang). Di
samping itu, dinasti ini mewariskan bangunan- bangunan megah seperti sebuah
Istana al Mukhtar di Raudah dan taman yang dikenal dengan Bustan al Kafuri.[51]
c.
Kemunduran dan
Kehancuran Dinasti Ikhsidiyah
Hanya setelah
meninggalnya Kafur, Iksidiyah menjadi dinasti yang lemah. Pada masa itu, Abu al
Fawarisaris Ahmad Ibn Ali yang menerima tahta setelah Kafur tidak bertahan lama
karena kepemimpinannya yang sangat lemah. Sehingga serangan yang terus menerus
dilancarkan oleh Fatimiyah terhadap pemerintahnnya membuat dinasti ini tidak
berdaya dan tidak mampu mempertahankan kekuasaannya di Mesir. Sehingga dinasti
ini dapat ditaklukkan oleh Fatimiyah.
7. Dinasti al-Murabitun Atau al-Murawiyah
a. Kemunculan dinasti al-Murabitun
Dinasti
Murabbitun berdiri pada tahun 479-540 H. yang berkuasa di Maghribi. Nama Murabbitun
berkaitan erat dengan nama tempat tinngal mereka (ribat,semacam madrasah). Mereka biasa juga
diberi sebutan al-mulassimun (pemakai kerudung sampai menutupi wajah).
b. Keunggulan dinasti Murabitun
Yahya bin Ibrahim, berhasil memperluas wilayah kekuasaannya
sampai ke Wadi Dara, dan kerajaan Sijil Mast yang dikuasai oleh Mas’ud bin
Wanuddin.[52]
Ketika Yahya bin Umar meninggal Dunia, jabatannya diganti oleh saudaranya, Abu
Bakar bin Umar[53],
Pada tahun 1062 M, Yusuf bin tasyfin mendirikan ibu kota di
Maroko. Dia berhasil menaklukkan Fez (1070 M) dan Tangier (1078 M). Pada tahun
1080-1082 M, ia berhasil meluaskan wilayah sampai ke Al Jazair. Dia mengangkat
para pejabat Al-Murabithun untuk menduduki jabatan Gubernur pada wilayah
taklukannya, sementara ia memerintah di Maroko. Yusuf bin Tasfin meninggalkan
Afrika pada tahun 1086 M dan memperoleh kemenangan besar atas Alfonso VI (Raja
Castile Leon) dan Yusuf bin Tasfin mendapat dukungan dari Muluk At-Thawa’if
dalam pertempuran di Zallaqah. Ketika Yusuf bin Tasfin meninggal Dunia, ia
mewariskan kepada anaknya, Abu Yusuf bin Tasyfin. Warisan itu berupa kerajaan
yang luas dan besar terdiri dari negeri-negeri Maghrib, bagian Afrika dan
Spanyol. Ali ibn Yusuf melanjutkan politik pendahulunya dan berhasil
mengalahkan anak Alfonso VI (1108 M). Kemudian ia ke Andalusia merampas
Talavera Dela Rein.
c. Kemunduran dan kehancuran dinasti Murabbitun
Lambat laun Dinasti Al- Murabithun mengalami kemunduran
dalam memperluas wilayah. Kemudian Ali mengalami kekalahan pertempuran di
Cuhera (1129 M). kemudain ia mengangkat anaknya Tasyfin bin Ali menjadi
Gubernur Granada dan Almeria. Hal ini dilakukan sebagai upaya untuk menguatkan
moral kaum Murabithun untuk mempertahankan serangan dari raja Alfonso VII. Masa
terahir Dinasti Al-Murabithun tatkala dikalahkan oleh Dinasti Muwahiddun yang
dipimpin oleh Abdul Mun’im. Dinasti Muwahiddun menaklukkan Maroko pada tahun
1146-1147 M yang ditandai dengan terbunuhnya penguasa Al-Murabithun yang
terakhir, Ishak bin Ali.
8.
Dinasti Muwahiddun
a. Kemunculan Dinasti Muwahidun
Muwahhiddun merupakan Dinasti Islam yang pernah berjaya di
Afrika Utara selama lebih satu abad.[54] Didirikan oleh Muhammad
bin Tummart.[55]
Semangat perjuangan Ibn Tumart adalah menghancurkan kekuatan Murabhitun. Pada
tahun 1129 M, di bawah komando Abu Muhammad Al Basyir, kaum Muwahiddun
menyerang ibu kota Murabithun. Peristiwa itu terkenal dengan nama perang
Buhairah. Dalam perang itu Muwahhidun kalah dan mengakibatkan meninggalnya Ibn
Tumart.
b. Masa Keunggulan Dinasti Muwahhidun
Pada tahun 1163 M, Abdul Mun’im bin ‘Ali diangkat sebagai
pemimpin menggantikan Ibn Tumart. Di bawah kepemimpinannya Al-Muwahiddun Meraih
kemenangan. Pada tahun 1131 M Muwahiddun menguasai Nadla , Dir’ah Taigar, Fazar
dan Giyasah. Pada tahun 1139 M, Muwahiddun melancarkan serangan ke pertahanan
Murabithun sehingga jatuh ketangan kaum Muwahiddun. Fez kota terbesar kedua
setelah Marrakech, direbut al-Muwahhidun pada tahun 1145 M. Setahun kemudian
berhasil menguasai Marrakech dan menjatuhkan Murabithun. Setelah berhasil
menjatuhkan Murabithun Abdul Mun’im memperluas wilayah kekuasaannya, pada tahun
1152 M Al-Jazair direbutnya. 6 tahun berikutnya wilayah Tunisia dikuasai dan 2
tahun setelah itu Tripoli jatuh ketangannya. Kekuasaannya dari Tripoli hingga
ke Samudera Atlantik sebelah Barat, suatu prestasi gemilang dan belum pernah
dicapai oleh Dinasti manapun di Afrika Utara. Pada tahun 1162 M, Abdul Mun’im
memperluas wilayahnya ke daerah yang dikuasai orang Kristen. Pada tahun itu Abdul
Mun’im wafat. Ia diganti puteranya Abu Ya’kup Yusuf Abdul Mun’im (1184 M). Ia
memperluas wilayah di utara dari timur pada tahun 1169 M dibawah Abu Hafs al
Muwahhidun, dia berhasil merebut Toledo.
Dalam beberapa generasi ini Muwahhidun mengalami masa kemajuan.
Dalam beberapa generasi ini Muwahhidun mengalami masa kemajuan.
c. Masa Kemunduran dan Kehancuran Dinasti Muwahhidun
Setelah kematian Ya’kub, Muwahhidun memasuki masa
kemunduran. Bersamaan dengan kemunduran ini, pasukan Salib yang telah
dikalahkan oleh Salahuddin di Palestina kembali ke Eropa dan mulai menggalang
kekuatan baru dibawah pimpinan Alfonso IX. Kekuatan KRISTEN ini mengulangi
serangan ke Andalusia dan kali ini mereka berhasil mengalahkan kekuatan Muslim
Muwahhidun. Setelah beberapa kali mengalami kekalahan
dan akhirnya penguasa muwahhidun meninggalkan Spanyol dan kembali ke Afrika Utara (Maroko) pada tahun 1235 M.[56]
dan akhirnya penguasa muwahhidun meninggalkan Spanyol dan kembali ke Afrika Utara (Maroko) pada tahun 1235 M.[56]
9. Dinasti Kalbiyah ( 965 – 1044 M )
a. Kemunculan dinasti Kalbiyah
Dinasti kalbiyah berkuasa selama 80 tahun. Hasan dapat
menaklukkan daerah kristen di sebelah utara Sisilia, Tormina kemudian merubah
nama kota itu menjadi Mu`izziyah sebagai penghormatan terhadap khalifah
Fathimiyah Muiz . Sejak tahun 948 M, Khalifah Fatimiyah, Ismail Al-Mansur
mengangkat Hassan Al-Kalbi sebagai emir Sicilia. Secara defakto, Emirat Sicilia
terlepas dari pemerintahan Faimiyah di Mesir. Lalu digantikan Emir yang baru
bernama Abu Al-Qasim (964 M – 982 M). pada masa kedua emir itu berkuasa, Muslim
Sicilia bertempur dengan Bizantium. Setelah itu, kekuasaan Islam meredup
seiring perebutan kekuasaan di tubuh umat Islam. Pada 1061 M, Sicilia lepas
dari tangan umat Islam.
b. Keunggulan Dinasti Kalbiyah
Peradaban Islam berkembang pada masa dinasti Kalbiyah yang
berkuasa selama 80 tahun. Di bidang Fisik, Kota Palermo dihiasi dengan 150
tempat pemotongan hewan, 300 masjid, 7000 jamaah shalat jumat dan 300 sekolah
guru . Di bidang Pertanian sudah menggunakan sistem pengairan , bibit unggul
didatangkan dari negara timur, dan sistem penanaman bibit meniru bangsa Arab.
Di bidang Perindustrian sudah mampu mengembangkan industri tambang emas,
belerang, sulfur, tawas, industri perikanan, penenunan kain sutra. Di bidang
Perdagangan sudah maju dan saat itu masih dikuasai orang Arab dan pelabuhan
Messina menjadi kota perdagangan. Dan sudah mengadakan kharaj dan jizyah. Di
bidang ilmu, perkembangan ilmu agama islam lebih menonjol dibanding dengan yang
lain.[57] Di bidang Sosial dan
Ekonomi mereka berhasil membangun irigasi dengan sistem Hydraulic yang
didatangkan dari Persia dan sistem Siphon dari Roma. Dengan irigasi yang baik
maka perkebunan dan pertanian semakin maju. Sehingga tanaman kapas, rami di
Giattini , berbagai macam jeruk di ekspor
c. Kemunduran dan Kehancuran Dinasti Kalbiyah
Sejak tahun 948 M, Khalifah Fatimiyah, Ismail Al-Mansur
mengangkat Hassan Al-Kalbi sebagai emir Sicilia. Secara defakto, Emirat Sicilia
terlepas dari pemerintahan Faimiyah di Mesir. Lalu digantikan Emir yang baru
bernama Abu Al-Qasim (964 M – 982 M). pada masa kedua emir itu berkuasa, Muslim
Sicilia bertempur dengan Bizantium. Setelah itu, kekuasaan Islam meredup
seiring perebutan kekuasaan di tubuh umat Islam. Pada 1061 M, Sicilia lepas
dari tangan umat Islam.
10. Dinasti Fathimiyah
a. Kemunculan Dinasti Fathimiyah
Dinasti Fatimiah didirikan oleh Ubaidillah Al Mahdi Abu
Muhammad, beliau di lantik pada tahun 297 di Qairawan Maroko. Ketika Ubaidillah
Al Mahdi sampai di Maroko kelompok syiah Idrisiah langsung menyambutnya dan
membaiat sebagai khalifah dengan ibu kotanya Al Manshuriah. Pada tanggal 4
rabiul Akhir tahun 298 H / 911 M pengumuman pendirian Daulah Fatimiah dibuat
diatas mimbar sebagai bertanda berakhirnya Daulah Aghlabiah8 (184 H-296 H / 800
M-908 M), di Negara tersebut dan Ubaidillah Al Mahdi digelar Amirul Mukminin.[58] Upaya untuk menakluki
Mesir sudah dimulai semenjak tahun 301 H / 913 M namun masih gagal tetapi pada
tahun 358 H / 969 M Al Mu’iz Lidinillah menyiapkan 100.000 pasukan bahkan
lebih, termasuk pasukan berkuda dan kapal laut, pasukan yang dikomandoi oleh
Jauhar Siqli langsung menuju Iskandariah tanpa perlawanan penduduk setempat.[59]
b. Keunggulan Dinasti
Fathimiyah
Al Mu’iz Lidinillah membuat peraturan tentang perpajakan
dengan tujuan untuk meningkatkan ekonomi masyarakat, keadaan ini membuat rakyat
agak senang walau dalam kebijakan keagamaan terdapat banyak kontroversi. Maka
mulailah aliran syiah di taburkan dengan leluasa dan dihilangkannya pengaruh
Abbasiah yang sunni.
Daerah Kekuasaannya di Afrika meliputi Maroko, Tunisia, Mesir, di Asia meliputi Syiria, Yordania, Hijaj15. Ada pendapat yang mengatakan kekuasaannya juga meliputi Mekah, Madinah namun penulis belum menemukan data sejarah tentang hal tersebut.[60]
Daerah Kekuasaannya di Afrika meliputi Maroko, Tunisia, Mesir, di Asia meliputi Syiria, Yordania, Hijaj15. Ada pendapat yang mengatakan kekuasaannya juga meliputi Mekah, Madinah namun penulis belum menemukan data sejarah tentang hal tersebut.[60]
Pemahaman syiah pada masa Daulah Fatimiah sangatlah kental
terlihat dalam kebijakan politik kenegaraannya.[61] Dalam bidang kebudayaan
dan Keagamaan
Menjadikan mesjid sebagai tempat pendidikan agama walaupun yang dimaksud untuk mengembangkan ideology mereka. Jami Al Azhar mempunyai penghargaan tersendiri dari para khalifah fatimiyin, dibalik itu mereka ingin menjadikannya markas penyebaran faham syiah. Di sekitarnya dibangun rumah bagi mereka yang mengajar pada Al azhar, dari sinilah dimulainya pengajaran di jami Al Azhar. Dalam blantika dunia keilmuan, Al Azhar merupakan universitas tertua, tidak hanya di dunia Islam, namun di seluruh dunia.[62]
Menjadikan mesjid sebagai tempat pendidikan agama walaupun yang dimaksud untuk mengembangkan ideology mereka. Jami Al Azhar mempunyai penghargaan tersendiri dari para khalifah fatimiyin, dibalik itu mereka ingin menjadikannya markas penyebaran faham syiah. Di sekitarnya dibangun rumah bagi mereka yang mengajar pada Al azhar, dari sinilah dimulainya pengajaran di jami Al Azhar. Dalam blantika dunia keilmuan, Al Azhar merupakan universitas tertua, tidak hanya di dunia Islam, namun di seluruh dunia.[62]
c. Keruntuhan Daulah Fatimiah
Pada tahun 558 H/1163 M, panglima Asasuddin Shirkuh membawa
Shalahuddin Al-Ayyubi untuk menundukkan Daulat Fatimiyah di Mesir. Usahanya
berhasil. Khalifah Daulat Fatimiyah terakhir Adhid Lidinillah dipaksa oleh
Asasuddin Syirkuh untuk menandatangani perjanjian.[63] Selain itu faktor lain
penyebab runtuhnya dinasti Fathimiyah yakni munculnya ulama-ulama besar seperti
Abu Ishaq Asy Syairazi, Ibnu Jauzi dan lain-lain dalam memberi peringatan
tentang bahaya ideologi Syiah. Kembali Khilafah Abbasiah berpegang pada Al
Qur’an dan Sunnah dimana sebelumnya yang berkuasa adalah Dinasti Buwaih
berfaham Syiah. Perlawanan masyarakat Mesir yang semakin meluas terhadap ajaran
Syiah yang di bawa oleh Daulah Fatimiah Khilafah Abbasiah Al Qadir billah
Amirul Mukminin pada tahun 480 H meminta Fuaqaha’ Muktazilah bertaubat dan
melarang mereka mempelajari hal-hal yang bertentangan dengan Islam, termasuk
juga melarang masyarakat berideologi seperti Syiah serta menjauhkan diri dari
perbuatan bid’ah. Penangkapan pengikut Syiah, Qaramithah dan di umumkan diatas mimbar
tentang kesesatan pahaman tersebut. Seruan dan taktik yang di buat oleh
khalifah semakin membuat bani Buwaih tertekan dan lemah, sehingga membuat
kekuatan Syiah berada pada taraf yang sangat lemah.
11. Dinasti Rustamiyah 160-296
Dinasti Rustamiyah berdiri pada tahun 160-296.di Aljazair
Barat yang dipelopori oleh Abdurrahman ibn Rustam yang beraliran Khawarij
Ibadiyah.Keberadaan dinasti tersebut sebenarnya merupakan protes terhadap
dominasi Arab yang Sunni.Ibu kotanya ialah Tahart yang berhubungan dengan kota
Aures,Tripolitani dan Tunisia Selatan.Dinasti ini bersekutu dengan bani umaiyah
diSpanyol karena terjepit oleh Idrisiyah yang Syi’ah di Barat dan Aglabiyah
yang Sunni diTimur mereka.Dinasti ini berakhir dengan jatuhnya Tahart ke tangan
para penyebar dakwah fatimiyah tahun 296.Abu Abdullah dari suku Berber
Ketama,dan keluarga rustamiyah banyak dibunuh oleh penakluknya itu,sedang yang
lain meloloskan diri ke selatan,Wargla.Walaupun secara politis masih berkembang
dan berpengaruh dibeberapa wilayah Magrib seperti oase Mazb Aljazair,Pulau
jerba di Tunisia,dan jabal Nefusa hingga kini.Tahart,dimasa Rustamiyah
mengalami kemakmuran yang menakjubkan dan sebagai persinggahan diutara diantara
salah satu rute-rute kafilah trans-sahara,juga merupakan pusat ilmu pengetahuan
agama yang tinggi khususnya aliran khawarij untuk seluruh Afrika Utara dan
bahkan diluar wilayah tersebut,seperti Oman,Zanzibar dan Afrika timur.[64]
12. Dinasti Ziriyah Dan Hammadiyah
Dinasti Ziriyah dan Hammadiyah berdiri pada tahun 361-547
M.Di Afrika Utara sebelah Tengah (Aljazair Timur) dengan ibu kota
Qairawan.Ziriyah merupakan kaum ber-ber Sanhajah,yang memberikan bantuan
militer kepada ibu kota Fatimiyah al-Mahdiyah,334M.Ketika diserbu oleh
pemberontak Khawarij.Khalifah Mu’izli Dinillah dari Fatimiyah memindahkan ibu
kotanya ke Mesir sehingga wilayah barat banyak dikuasai oleh Ziriyah.Oleh
karena luas wilayahnya itu maka dibagilah menjadi dua,yakni bagian barat
diberikan kepada Hammadiyah,cabang dari Ziriyah,yang berpusat di Qal’at Bani
Hammad,sedangkan ditimur tetap ada pada Ziriyah.Dinasti ini berorentasi kepada
Abbasiyah,tetapi Hammadiyah loyal kepada Fatimiyah.Oleh karena itu Fatimiyah
memerangi Ziriyah dan memaksanya keluar dari daratan Afrika utara,yang akhirnya
jatuh ke tangan dinasti Muwahhidun.
DAFTAR
PUSTAKA
Amin, Syamsul Munir. 2009. Sejarah Peradaban Islam.
Jakarta: Amzah.
Bosworth, C.E. The Islamic Dynasties, Eidenburgh,
1980. Terjemahan dalam bahasa Indonesia oleh Ilyas Hasan. Bandung: Mizan anggota IKAPI.
Hasan, Ibrahim Hasan, 1988, Tarikh al-Islami,(terj)
Sejarah dan Kebudayaan islam. Yogyakarta: Kota Kembang.
Hitti, Philip K. 2010. History of the
Arabs, Jakarta: PT Serambi Ilmu Setia.
Johnson, Lih Doyle Paul. 1994. Teori
Sosiologi: Klasik dan Modern.Terjemahan. Robert M.Z. Lawang. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama.
Mufradi, Ali. 1997. Islam dan Kawasan Kebudayaa Arab.
Jakarta: Wacana Ilmu.
Nasution, Harun. 1992. Ensiklopedi Islam Indonesia,
Jakarta:UIN Syarif Hidayatullah,
Nurhakim, Moh. 2004. Sejarah dan Peradaban Islam, Malang: UMM Press
Perpustakaan Nasional RI. 2002. Ensiklopedi Islam,
Jakarta;Ichtiar Baru Van Hoeve,
Supriyadi, A. Dedi. 2008. Sejarah Peradaban Islam. Bandung: CV Pustaka Setia.
Syalabi, A. 1982. Sejarah dan Kebudayan Islam. Jakarta:
Pustaka Al-Husna.
Al-usairy, Ahmad. at-Tarikhul Islami terj.
H. Samson
Rahman, MA, Jakarta : Akbar Media, 2003 Hal.262
Watt, W. Montgomery. 1988.
Islamic Political Though. terjemahan Helmy Ali dan
Muntaha Azhari. Jakarta: P3M.
www.islamonline.net.
CyberMQ.com
http// akademika.dinasti-dinasti
Independen.wordpress.com
http//danankBlogs_dinasti-dinasti.kecil di Baghdad.
Wordpress.com.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
ngan luppa comment yy