Total Tayangan Halaman

Minggu, 04 Desember 2016

Makalah " Tiga Kerajaan Besar Pada Zaman Pertengahan "



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar belakang
Penyebaran Islam pada abad pertengahan lebih terfokus pada tiga kerajaan besar, yaitu Kerajaan Turki usmani, Kerajaan Safawi dan Kerajaan Mugal . Kerajaan Turki Usmani merupakan salah satu dari tiga kerajaan islam terbesar pada abad pertengahan. Kerajaan ini adalah kerajaan Islam yang cukup kuat dengan bukti dapat mengalahkan bangsa mongol. Pada masa kerajaan ini, Islam mengalami berbagai kemajuan di beberapa bidang dan yang paling utama pada bidang perluasan wilayah.
Dari keterangan diatas, kita dapat membahas lebih dalam tentang bagaimana proses berdirinya  Kerajaan Turki usmani, perkembangan politik dan sosial , hingga kemajuan peradaban kerajaan tersebut yang akan kami bahas pada bab selanjutnya.
B.     Rumusan masalah
1.      Bagaimana proses berdirinya kerajaan Turki Usmani?
2.      Bagaimana perkembangan politik dan sosial kerajaan Turki Usmani?
3.      Bagaimana perkembangan peradaban kerajaan Turki Usmani?
C.    Tujuan masalah
1.      Untuk mengetahui proses berdirinya kerajaan Turki Usmani.
2.      Untuk mengetahui perkembangan politik dan sosial kerajaan Turki Usmani.
3.      Untuk mengetahui perkembangan peradaban pada masa Turki Usmani.

BAB II
PEMBAHASAN

A.    PROSES BERDIRINYA KERAJAAN TURKI USMANI[1]
Pendiri kerajaan utsmani adalah bangsa Turki dan kabilah Orghuz yang mendiami daerah Mongol dan daerah utara negeri Cina. Setelah tiga abad mereka pindah ke Turkistan kemudian Persia dan Irak. Mereka masuk Islam sekitar abad ke sembilan atau ke sepuluh ketika menetap di Asia Tengah. Pada abad ke-13 M, mereka mendapat serangan dan tekanan dari Mongol, akhirnya mereka melarikan diri ke Barat dan mencari perlindungan di antara saudara-saudaranya yaitu orang-orang Turki Saljuk, di dataran tinggi Asia kecil. Dibawah pimpinan Ertoghrul, mereka mengabdikan diri kepada Sultan Alauddin II, Ertoghrul dan pasukannya bersekutu dengan pasukan Saljuk membantu Sultan Alauddin II berperang menyerang Bizantium. Berkat bantuan mereka inilah Sultan Alauddin mendapat kemenangan. Atas jasa baik itu, Alauddin menghadiahkan sebidang tanah di Asia Kecil yang berbatasan dengan Bizantium. Sejak itu mereka terus membina wilayah barunya dan memilih kota Syukud sebagai ibu kota.
Pada tahun 1289 M Ertoghrul meninggal dunia . kepemimpinan dilanjutkan oleh putranya Usman. Putra Ertoghrul inilah yang dianggap sebagai pendiri kerajaan Usmani. Usman memerintah pada tahun 1290 M – 1326 M. Ertoghrul banyak berjasa kepada sultan Alauddin II dengan keberhasilannya menduduki benteng – benteng Bizantium yang berdekatan dengan kota Broessa. Pada tahun 1300 M bangsa Mongol menyerang kerajaan Seljuk dan Sultan Alauddin terbunuh. Kerajaan Seljuk Rum ini kemudian terpecah – pecah dalam beberapa kerajaan kecil. Usman pun menyatakan kemerdekaan dan berkuasa penuh atas daerah yang didudukinya. Sejak itulah kerajaan Usmani dinyatakan berdiri. Penguasa pertamanya adalah Usman yang sering disebut juga Usman I.
Setelah Usman I mengumumkan dirinya sebagai Padisyah al-Usman (raja besar keluarga Usman) tahun 699 H (1300 M), setapak demi setapak wilayah kerajaan dapat diperluasnya. Ia menyerang daerah daerah Bizantium dan menaklukan kota Broessa tahun 1317 M, kemudian, pada tahun 1326 M dijadikan ibu kota kerajaan. Pada masa pemerintahan Orkhan (726 H/1326 M-761 H/1359 M) Kerajaan Turki Usmani ini dapat menaklukan Azmir (Smirna) tahun 1327 M, Thawasyanli (1330 M), Uskandar (1338 M0, Ankara ( 1354 M), dan Gallipoli (1356 M). daerah ini adalah bagian dari adalah bagian Benua Eropa. Ia dapat menaklukan Adrianopel yang kemudian dijadikannya sebagai ibu kota kerajaan yang baru, Macedonia, Sopia, Salonia, dan seluruh wilayah bagian utara Yunani. Merasa cemas terhadap kemajuan ekspansi kerajaan ini ke Eropa, Paus mengorbankan semangat perang. Sejumlah besar pasukan sekutu Eropa disiapkan untuk memukul mundur turki usmani. Pasukan ini dipimpin oleh Sijisman, raja Hongaria. Namun, Sultan Biyazid I (1389-1403 M), pengganti Murad I, dapat menghancurkan pasukan suku Kristen Eropa tersebut. Peristiwa ini merupakan merupakan catatan sejarah yang amat gemilang bagi umat islam.
Ekspansi kerajaan usmani sempat terhenti beberapa lama. Ketika ekspansi diarahkan ke Konstatinopel, tentara Mongol yang dipimpin Timur Lenk melakukan serangan ke Asia kecil. Pertempuran hebat terjadi di Ankara itu membawa akibat buruk bagi Turki Usmani. Penguasa-penguasa Seljuk di Asia Kecil melepaskan diri dari genggaman Turki Usmani. Wilayah-wilayah Serbia dan Bulgaria juga memproklamasikan kemerdekaan. Dalam pada itu, putra-putra Biyazid saling merebut kekuasaan. Suasana buruk ini baru berakhir setelah Sultan Muhammad I (1403-1421 M) Dapat mengatasinya. Sultan Muhammad berusaha keras menyatukan negaranya dan mengembalikan kekuatan dan kekuasaan seperti sediakala.
       
Setelah Timur Lenk meninggal dunia tahun 1405 M, kesultanan Mongol dipecah dan dibagi-bagi kepada putra-putranya yang satu sama lain saling berselisih. Kondisi ini dimanfaatkan oleh penguasa Turki Usmani untuk melepaskan diri dari kekuasaan Mongol. Namun, pada saat seperti itu juga terjadi perselisihan antara putra-putra Bayazid (Muhammad, Isa, dan Sulaiman). Setelah sepuluh tahun terjadi perselisihan perebutan kekuasaan, akhirnya Muhammad berhasil mengalahkan saudara-saudaranya. Usaha Muhammad yang pertama kali ialah mengadakan perbaikan-perbaikan yang meletakkan dasar-dasar keamanan dalam negri. Usahanya ini diteruskan oleh Murad II (1421-1451 M), sehingga Turki Usmani mencapai puncak kemajuannya pada masa Muhammad II atau biasa disebut Muhammad Al-Fatih (1451-1484 M).
Sultan Muhammad II atau yang dikenal dengan sebutan Sultan Muhammad Al-Fatih dapat mengalahkan Bizantium dan mengalahkan Konstatinopel pada tahun 1453 M. Dengan terbukanya Konstatinopel sebagai benteng pertahanan terkuat kerajaan Bizantium, maka lebih mudah bagi kerajaan Turki Usmani untuk memperluas ekspansi ke Benua Eropa. Akan tetapi ketika Sultan Salim I (1512-1520 M) naik tahta, ia mengalihkan perhatian ke arah timur dengan menaklukan Persia, Syria, dan dinasti Mamalik di Mesir. Usaha Sultan Salim I ini dikembangkan oleh Sultan Sulaiman Al Qonuni (1520-1566 M). Ia tidak mengarahkan ekspansinya ke arah timur atau barat, tetapi keseluruh wilayah yang berada di sekitar kerajaan Turki Usmani merupakan obyek yang menggoda hatinya. Sulaiman berhasil menundukkan Irak, Belgrado, Pulau Rodhes, Tunis, Budapest, dan Yaman. Dengan demikian, luas wilayah Turki Usmani pada masa Sultan Sulaiman Al-Qonuni mencakup Asia Kecil, Armenia, Irak, Siria, Hejaz, dan Yaman di Asia, Mesir, Libia, Tunis, dan Aljazair di Afrika, Bulgaria, Yunani, Yugoslavia, Albania, Hongaria, dan Rumania di Eropa.
Setelah Sultan Sulaiman meninggal dunia, terjadilah perebutan kekuasaan antara putra-putranya, yang menyebabkan kerajaan Turki Usmani mundur. Akan tetapi, meskipun terus mengalami kemunduran, kerajaan ini untuk masa beberapa abad masih dipandang sebagai negara yang kuat, terutama dalam bidang militer. Kerajaan ini memang masih bertahan lima abad lagi setelah itu. Dalam perjalanan sejarah selanjutnya Turki Usmani merupakan salah satu dari tiga kerajaan besar yang membawa kemajuan dalam Islam. Turki Usmani berkuasa sekitar 7 abad dengan 37 sultan.
B.     PERKEMBANGAN POLITIK DAN SOSIAL TURKI USMANI[2]
Ø Perkembangan Politik
Zaman Keemasaan. Zaman keemasan Dinasti Turki Usmani terjadi pada masa Sultan Sulaiman I (The Great, The Magnificent, al-Qanuni). Ia digelari al-Qanuni (Pembuat Undang-Undang) karena keberhasilannya mmbuat undang-undang yang mengatur masyarakat.
Meskipun demikian, poses menuju zaman keemasan sudah mulai sejak seabad sebelumnya dengan ditaklukkannya wilayah-wilayah di daratan Eropa., termasuk jatuhnya Constantinopel oleh Sultan Muhammad Al-Fatih. Turki Usmani juga melebarkan sayapnya ke Afrika Utara menaklukkan Mesir pada masa Sultan Salim I tahun 1517. Penaklukan –penaklukan selanjutnya dilakukan Sultan Sulaiman I, baik di daratan Eropa maupun di Asia dan Afrika Utara. Pada masanya wilayah Usmani meliputi Aljazair, Mesir, Hijaz, Armenia, Irak, Asia Kecil, Balkan, Bulgaria, Bosnia, Yunani, Hongaria, Rumania, dan tiga laut, yaitu Laut Merah, Laut Tengah, dan Laut Hitam. Karena keluasan wilayahnya, Kerajaan Usmani menjadi adikuasa atau super power yang tidak ada tandingannya di dunia. Eropa saat itu sedang lemah dan Amerika belum muncul, sedangkan dunia Islam di Timur yaitu Kerajaan Safawi di Persia dan Mughal di India tidak sebesar dan sekuat Usmani. Ada lima faktor yang menyebabkan kesuksesan Kerajaan Usmani dalam perluasan wilayah Islam. (1) Kemampuan orang Turki dalam strategi perang terkombinasi dengan cita-cita memperoleh ganimah (harta rampasan perang). (2) Sifat dan karakter orang Turki yang selalu ingin maju dan tidak pernah diam serta gaya hidupnya yang sederhana, sehingga mudah digerakkan untuk tujuan penyerangan. (3) Semangat jihad dan ingin mengembangkan Islam. (4) Letak Istanbul yang sangat strategis sebagai ibukota kerajaan juga sangat menunjang kesuksesan perluasan wilayah ke Eropa dan Asia. Istanbul terletak di antara dua benua dan dua laut, dan pernah menjadi pusat kebudayaan dunia, baik kebudayaan Macedonia, kebudayaan Yunani, maupun kebudayaan Romawi Timur. (5) Kondisi kerajaan di sekitarnya yang kacau memudahkan Kerajaan Usmani mengalahkannya.
Kerajaan turki Utsmani pada abad ke-17, banyak mengalami kemunduran. Pada abad ke-17 hingga 18, terdapat perubahan penting dalam sejarah Turki Utsmani. Berikutnya ekspansi Kerajaan Turki Utsmani, lembaga-lembaga pemerintahan sering kali kehilangan kemampuan militer dan administrasinya, dan kerajaan dalam posisi tertekan dengan regresi ekonomi, pemberontakan rakyat, dan beberapa kekalahan militer. Perseteruan antara pemerintahan pusat dengan elit lokal untuk mengontrol pendapatan pajak dari rakyat muncul ke permukaan dan kekuasaan dialihkan dari pemerintah pusat kepada kelompok Janissari, ulama, dan keluarga Utsmani yang telah mapan dalam pemerintahan pusat.
Munculnya kemunduran Turki diawali dari kekacauan pemerintahan yang dipimpin oleh Sultan Muhammad III pengganti Murad III. Dalam situasi seperti itu dimanfaatkan oleh Australia sehingga mampu memukul mundur Kerajaan Utsmani. Keadaan semacam ini terus berlangsung sampai pada masa pemerintahan Ibrahim (1640-1648) dan puncak kehancuran pemerintahan Turki Utsmani pada abad k-17 terjadi masa Mustofa.
Di masa Sultan Ahmad I, Persia mengadakan perlawanan terhadap Turki Utsmani, dan pada tahun 1612 M. Suatu perjanjian damai ditanda tangani, yang sangat menguntungkan Persia. Pada tahun 1616 M, ketika bangsa Turki datang lagi dengan tentara yang kuat dan mengepung Eriven, bangsa Persia melawan dan memukul mundur para penyerang.
Melihat kenyataan itu para negarawan Turki mulai memikirkan langkah-langkah perbaikan dalam segala bidang demi kestabilan dan kekuatan kerajaan. Langkah-langkah perbaikan kerajaan Turki Utsmani mulai diusahakan oleh Sultan Murod IV dan memperoleh kemajuan. Namun, situasi politik yang sudah membaik itu kembali merosot pada masa pemerintahan Ibrahim (1640-1648), karena ia termasuk orang yang lemah.
Pada masa tersebut orang-orang Vanesia melakukan peperangan laut untuk melwan dan berhasil mengusir orang-orang Turki Utsmani dari Cyprus dan Creta tahun 1645 M. Kekalahan iu membawa Muhammad Kopru ke kedudukan sebagai wazir atau Sadr Al-Azham (perdana menteri) yang diberi kekuasaan absolut. Ia berhasil mengembalikan peraturan dan mengonsolidasikan stabilitas keuangan negara.
Setelah Kopru meninggal dunia (1661 M) jabatannya dipegang oleh anaknya, Ibrahim menyangka bahwa kekuatan militernya sudah kuat kembali, karena itu ia menyebu Hongria dan mengancam Viena, namun perhitungan Ibrahim meleset, ia kalah dalam pertempuran itu secara berturut-turut.
Pada tahun 1683, Turki Utsmani mengadakan penyerangan ke Benteng Wina, tetapi mereka mengalami kegagalan. Hal itu meyakinkan bangsa Barat dan Eropa bahwa Turki Utsmani telah lemah, untuk itu mereka mengadakan banyak serangan ke wilayah kekuasaan Turki Utsmani.
Sejak Sultan Turki gagal dalam merebut kota Wina pada tahun 1683, peranan Kerajaan Osmaniah pun di medan peperangan berubah. Sejak tahun 1683, tentara turki kebanyakan hanya berusaha sekedar menangkis pukulan-pukulan musuh dan tidak perdaya untuk melancarkan serangan-serangan.
Pada masa selanjunya, wilayah Turki Utsmani yang luas itu sedikit demi sedikit terlepas dari kekuasaanya, direbut oleh negara-negara Eropa yang baru mulai bangun. Pada tahun 1699 M, terjadi perjanjian Korlowith yang memaksa sultan untuk menyerahkan seluruh Hongria, sebagian besar Slovenia dan Kroasia kepada Hapsburg dan Heminietz, Pedolia, Ukrania, Morea, dan sebagai Dalmetia kepada orang-orang Venesia.
Ø Perkembangan Sosial
          Perluasan wilayah ‘Utsmaniyah yang cepat menciptakan tekanan finansial, ekonomi, dan sosial yang parah, tetapi masalah ini berhasil diselesaikan dalam pemerintahan Sultan Bayuzid II (mem. 1481-1521) yang panjang dan relatif damai. Hal ini memungkinkan perluasan wilayah substansial pada bagian pertama abad keempat belas, melebihi perbatasan kekaisaran pertama, melintasi Sungai Danube melalui Hongaria ke gerbang Wina dan ke timur ke dalam wilayah kekaisaran Islam klasik Umayyah dan ‘Abbasiyah. Pada masa pemerintahan Sultan Selim I (mem. 1512-1520) “Sang Muram” (Yavuz), Shafawiyah di Iran sudah mulai bangkit sejak sekitar 1500 dan mengancam akan menaklukkan Kerajaan Mamluk serta Mesir yang semakin lemah dan terpecah belah. Sultan Selim I menganggapi hal ini dengan pertama-tama mengalahkan Shafawiyah di Chaldiran (1514) di Anatolia Timur, lalu menaklukkan wilayah Mamluk dalam serbuan kilat melalui Suriah dan Mesir pada 1516-1517, lalu segera mencaplok Semenanjung Arab ke dalam wilayahnya. Sultan Suleyman “Sang Pemberi Hukum” (Kanuni; disebut “Sang Agung” di Eropa) memerintah dari 1520 hingga 1566. Didukung oleh persekutuan dengan Prancis melawan musuh-bersama mereka, Habsburg, dia menaklukkan Hongaria (1526) dan mengepung Wina (1529), yang meskipun gagal, diikuti dengan penciptaan sistem prajurit gazi perbatasan yang melakukan perang gerilya sambil menjarah, jauh ke dalam Eropa Tengah selama dua abad berikutnya. Dengan keadaan seri perang daratan, pertempuran antara ‘Utsmaniyah dan Habsburg berpindah ke Laut Mediterania. Suleyman menciptakan armada yang kuat di bawah pimpinan gubernur bajak laut Aljazair, Admiral Besar Hairuddin Barbarossa. Komandan ini tidak hanya membawa Aljazair ke dalam kekaisaran sebagai provinsi yang pendapatannya terus disisihkan untuk mendukung angkatan laut ‘Utsmaniyah. Dia juga membuat seluruh Laut Mediterania menjadi milik ‘Utsmaniyah. Suleyman juga memperluas kekuasaan ‘Utsmaniyah di Timur. Setelah menaklukkan Irak dan Kaukasus Selatan dari tangan Shafawiyah (1535), dia membangun armada timur yang berbasis di Teluk Persia dan Laut Merah. Armada ini menaklukkan Yaman dan mematahkan upaya armada Eropa untuk memblokade rute pelayaran internasional lama melalui Timur Tengah. Dia juga lalu membantu para pemimpin Muslim di India Barat dan Indonesia melawan orang Portugis serta lainnya.
Pemerintahan dan Masyarakat. Pemerintahan Kanuni Suleyman menandai puncak kekuasaan dan kemakmuran ‘Utsmaniyah serta perkembangan tertinggi dalam sistem pemerintahan, sosial, dan ekonomi. Para sultan ‘Utsmaniyah memelihara pemisahan sosial tradisional Timur Tengah antara kelas pemerintah yang sangat kecil (osmanlilar atau “Ottoman”) di puncak, yang fungsinya terbatas terutama menjaga ketertiban dan mengamankan sumber keuangan yang cukup untuk memelihara dirinya dan memainkan perannya, serta kelas warga dari raya (reaya, “kumpulan yang dilindungi”) yang besar, diorganisasi menjadi komunitas otonom berdasarkan agama (millet) atau mata pencaharian (esnaf atau “serikat kerja”) yang mengurus semua aspek kehidupan yang tidak dikendalikan oleh kelas pemerintah.
Kelas Pemerintah. Keanggotaan kelas pemerintah terbuka bagi semua yang menyatakan dan menunjukkan kesetiaan kepada sultan, dinasti, dan kekaisarannya; yang memeluk agama Islam; yang mengetahui dan mempraktikkan Jalan ‘Utsmaniyah, sistem perilaku yang sangat kompleks, termasuk menggunakan bahasa ‘Utsmani, dialek buatan yang diturunkan dari bahasa Turki, Arab, dan Persia, dan yang mengetahui serta menjalankan praktik yang digunakan oleh kelompok-kelompok pembagian kelas pemerintah. Orang yang tidak memenuhi syarat ini dianggap sebagai anggota kelas warga, apa pun asal usul maupun agamanya.
Kelas Warga. Seluruh fungsi masyarakat dan pemerintahan serta administrasi yang tidak ditangani oleh kelas pemerintah didelegasikan kepada reaya (“kelompok terlindungi” atau raya), yang membentuk kelas warga. Untuk tujuan ini, reaya diorganisasi ke dalam komunitas berdasarkan agama, yang pernah disebut cema’at, ta’ife, dan akhirnya millet, dan juga ke dalam serikat pekerja (esnaf), tarekat darwis (thariqah) serta kelompok lain yang membentuk sublapisan masyarakat ‘Utsmaniyah.
Yang terpenting adalah komunitas berdasar agama, yang paling sering disebut millet, yang empat di antaranya didirikan oleh Mehmed sang Penakluk segera setelah dia menjadikan Istanbul sebagai ibu kotanya. Millet Ortodoks Yunani dan Gregorian Armenia dipimpin oleh patriark dan memiliki staf pendeta yang diorganisasi dalam hierarki di bawah otoritas mereka. Selain etnis Yunani, millet ortodoks mencakup semua orang Slavia dan Rumania yang tinggal di Eropa Tenggara; millet Gregorian Armenian tidak hanya mencakup Armenia tetapi juga orang Gipsi, Nestoria, Kopti, dan Kristen Timur lainnya. Millet Muslim dipimpin oleh Seyhulislam dan Lembaga Budaya, dan oleh karena itu merupakan satu-satunya millet yang memiliki koneksi organik dengan kelas pemerintah. Mehmed II, dan penggantinya Bayezid II mencoba mengorganisasi millet Yahudi, seperti millet Kristen, dengan menunjuk Moses Capsali, rabi besar Istanbul di bawah kaum Bizantium yang terakhir, sebagai kepala seluruh rabi dan semua orang Yahudi di seluruh kesultanan. Namun, dalam agama Yahudi tidak ada hierarki agama seperti dalam Kristen. Kaum Yahudi juga terbagi lagi atas mereka yang datang dari Spanyol (Sephardim, atau “Spanyol”), sisa Eropa (Asykenazim, atau “Jerman”), dan kesultanan Islam klasik di Timur Tengah (Musta’rab, atau “terarabisasi”), serta mereka yang telah berabad-abad bertahan atas penganiayaan gereja ortodoks Yunani dalam Kekaisaran Bizantium (Romaniote). Rabi-rabi besar awal ditunjuk oleh sultan, dan oleh karena itu, tidak berhasil mengendalikan pengikut mereka sehingga upaya ‘Utsmaniyah untuk menunjuk rabi besar ditinggalkan setelah 1535, dan baru diteruskan lagi tiga abad kemudian sebagai bagian reformasi Tanzimat yang mentransformasi kerajaan ini pada abad kesembilan belas. Oleh karena itu, millet Yahudi tradisional terdiri atas ratusan komunitas kecil (kahal, kehilla) masing-masing melingkupi sinagong; dengan demikian, hubungan dengan pejabat kelas pemerintah tidak dijalankan oleh pimpinan millet seperti halnya millet Muslim dan Kristen, tetapi oleh bankir dan dokter Yahudi yang kaya serta berpengaruh, yang melayani sultan dan angota kelas pemerintah lain hingga akhir abad keenam belas.
Tujuan besar sistem millet adalah mencegah konflik antaragama, yang telah menghantui kehidupan di Timur Tengah dan Eropa Tenggara pada masa yang kemudian.
Kemunduran. Kesultanan ‘Utsmaniyah mulai mundur pada akhir pemerintahan Suleyman. Kemunduran ini berlanjut dalam berbagai bentuk hingga perpecahan akhir kesultanan ini akibat Perang Dunia I. Perpecahan ini diakibatkan oleh perpaduan banyak faktor yang saling bergantung, yang kebanyakan bersifat sebab-akibat. Dominasi kelas pemerintah oleh kelas devsirme dimulai sekitar 1540, menyebabkan kemunduran dalam kualitas pemimpin dan terjadinya nepotisme, korupsi, dan salah-atur berskala besar dalam semua unsur populasi. Pajak ditarik berlebihan oleh anggota kelas pemerintah yang koruptor dan menyebabkan petani lari dari tanah ‘Utsmaniyah, untuk membentuk komplotan perampok atau bermigrasi ke kota yang sudah penuh sesak. Kekurangan pekerjaan dan makanan di perkotaan menyebabkan kelaparan, penyakit, dan anarki. Perjanjian kapitulasi yang membolehkan warga Eropa tinggal di wilayah ‘Utsmaniyah di bawah hukum mereka sendiri,sebagaimana ditegakkan oleh duta dan konsul mereka, berubah menjadi alat eksploitasi semikolonial. Hal ini memungkinkan tidak hanya orang Eropa, tetapi juga orang-orang Yunani dan Armenia warga kesultanan yang menerima perlindungan, untuk mendominasi sistem ekonomi ‘Utsmaniyah dan mengusir kaum Muslim dan Yahudi. Kedua kaum ini akhirnya semakin miskin pada abad ketujuh belas dan kedelapan belas. Bagi sebaggian besar warga, penderitaan ini diringankan oleh millet dan serikat pekerja, yang setidaknya memberi sebagian perlindungan dari dampak terburuk anarki dan salah-atur. Akan tetapi, banyak juga orang yang berpaling dari badan agama resmi pada gerakan mistik yang lebih banyak menawarkan penghiburan emosional dan perlindungan praktis, seiring dengan terus memburuknya keadaan ketika kemunduran berlangsung lebih cepat.
Reformasi dan Modernisasi. Kebanyakan anggota kelas pemerintahan tidak berusaha mereformasi pelanggaran itu karena mereka sendiri memperoleh kepentingan jauh lebih besar dari anarki daripada yang bisa dilakukan oleh para pendahulunya di bawah dominasi sultan. Pada anad ketujuh belas dan kedelapan belas, negara-negara Eropa yang baru bangkit mengetahui betapa lemah ‘Utsmaniyah dan bergerak untuk menaklukkan wilayah ‘Utsmaniyah di Hongaria dan Eropa Tenggara. Baru pada saat itulah kelas pemerintah menerima sejenis reformasi untuk mempertahankan kesultanan yang memberi hak istimewa kepada mereka. Di bawah pimpinan Sultan Murad IV (mem. 1623-1640) dan dinasti wazir besar Koprulu yang diberi kekuasaan pada tahun-tahun terakhir abad ketujuh belas oleh Sultan Mehmed IV (mem. 1648-1687), dilakukan upaya untuk mereformasi sistem guna menyelamatkan kesultanan. Namun, reformasi ini dilakukan atas dasar keyakinan luas bahwa lembaga dan praktik ‘Utsmaniyah lebih unggul daripada apa pun yang dikembangkan di Eropa Kristen. Kelemahan ‘Utsmaniyah kemudian diannggap bukanlah akibat dari kelemahan lembaganya, melainkan akibat kegagalan menerapkannya seperti ketika abad-abad kejayaan ‘Utsmaniyah. Oleh karena itu, reformasi tradisioanlistis pada masa itu terdiri atas upaya memulihkan cara-cara lama, menghukum pejabat dan tentara yang korup dan tidak cakap. Begitu pemerintah dan tentara cukup pulih untuk menahan serangan Eropa, korupsi berlanjut hingga krisis berikut memaksakan upaya yang serupa. Namun, meningkatnya kekalahan terhadap Rusia dan Austria pada abad kedelapan belas memaksa sultan memodifikasi reformasi tradisionalistis ini setidaknya bersedia mengakui bahwa senjata dan takik Eropa lebih unggul, serta setidaknya menerima reformasi sebagian militer ‘Utsmaniyah yang lebih tua tidak bersedia menerima perubahan seperti ini, karena status mereka dalam kelas pemerintah bergantung pada monopoli mereka dalam teknik dan praktik tradisional.keadaan ini memaksa sultan menciptakan satuan infanteri dan artileri modern yang terpisah. Akan tetapi, tetap saja sebagian besar satuan ini tidak bisa digunakan karena ditentang oleh satuan yang lama, yang didukung oleh anggota kelas pemerintah yang juga takut apabila kekuatan baru itu akan digunakan untuk melenyapkan mereka.
Pada abad kesembilan belas dan awal abad kedua puluh, meningkatnya ancaman Eropa terhadap integritas ‘Utsmaniyah dan intervensi langsung Eropa dalam urusan internal ‘Utsmaniyah merangsang dan mendukung pemberontakan kaum nasionalis Kristen, yang memecah-belah kekaisaran untuk meraih kemerdekaan mereka. Hilangnya daerah akibat hal tersebut, dan pembantaian warga Muslim serta Yahudi berskala besar oleh para pemberontak dan juga oleh negara Kristen yang baru merdeka di Eropa Tenggara, akhirnya memaksa ‘Utsmaniyah mengubah konsep reformasi menjadi konsep yang seluruhnya memusnahkan lembaga lama dan menggantinya dengan lembaga baru yang sebgaian besar diimpor dari Barat. Jenis reformasi ini terjadi ketika masa reformasi Tanzimat, yang direncanakan di bawah Sultan Mahmud II (mem. 1808-1839), dilaksnakan di bawah anak-anaknya Abdulmecid (mem. 1839-1861) dan Abdulaziz (mem. 1861-1876), serta dibawa ke puncak sukses di bawah Sultab Abdulhamid II (mem. 1876-1909). Sistem desentralisasi ‘Utsmaniyah yang bersifat tradisional diganti dengan sistem yang semakin terpusat. Pemerintah pusat mengerahkan wewenang dan kegiatannya dalam seluruh wilayah kehidupan ‘Utsmaniyah, mengurangi fungsi millet dan serikat pekerja meskipun tidak sepenuhnya. Selanjutnya, karena fungsinya meluas, sistem pemerintah ‘Utsmaniyah tradisional diganti dengan sistem pemerintah yang semakin kompleks, dibagi menjadi cabang eksekutif, leislatif, dan yudikatif. Cabang eksekutif diorganisasi menjadi kementerian yang dikepalai oleh menteri (vekil) yang besatu dalam kabinet yang dipimpin oleh wazir besar, atau seorang pejabat yang disebut perdana menteri (bas vekil). Fungsi legislatif diberikan kepada badan pertimbangan, yang berpuncak dalam dewan negara yang sebagian bersifat perwakilan (surayi devlet), dalam dalam seperempat terakhir abad kesembilan belas. Kemudian parlemen yang dipilih secara demokratis diperkenalkan pertama kali pada 1876-1877, lalu pada masa konstitusional Turki Muda (1908-1912) setelah turunnya Abdulhamid II. Administrasi pindah ke hierarki birokrat berpendidikan (memurs) baru, yang mendominasi kehidupan pemerintahan ‘Utsmaniyah hingga berakhirnya kesultanan ini.reformasi yang diperkenalkan pada abad kesembilan belas dan awal abad kedua puluh mengubah kesultanan ‘Utsmaniyah menjadi negara modern yang diperintah dengan realtif baik. Perlakuan terhadap warga lebih manusiawi daripada perlakuan sebagian besar negara Eropa, yang dicoba ditiru oleh para pambaru ‘Utsmaniyah. Namun, penekanan diletakkan pada reformasi lembaga dan fisik, serta birokrasi terpusat mengendalikan kehidupan warganya jauh lebih banyak daripada dalam sistem desentralisasi tradisional yang digantikan. Alhasil, gerakan politik liberal, yang dipimpin oleh ‘Utsmaniyah Muda pada tahun-tahun pelaksanaan Tanzimar dan oleh Turki Muda pada masa pemerintahan Abdulhamid II, menuntut reformasi politik dan sosial pula. Namun, negara multinasional ini menuju kehancuran oleh menyebarnya nasionalisme di kalangan minoritas Kristen, yang didorong oleh Rusia dan Austria, yang berupaya menggunakan gerakan-gerakan ini sebagai kendaraan untuk memperluas pengaruh mereka ke dalam lembaga-lembaga politik ‘Utsmaniyah dan akhirnya menggantikan pemerintahan ‘Utsmaniyah dengan pemerintahan mereka sendiri. Senjata, dorongan moral, dan keuangan yang disediakan oleh berbagai gerakan nasional Kristen menyebabkan pemberontakan keras, bermula dengan revolusi Yunani pada awal abad ini dan berlanjut di Serbia serta Bulgaria, dan terutama di Macedonia ketika ribuan Muslim serta Yahudi dibantai di bawah kebijakan yang kemudian disebut “pembersihan etnis”, yang ditujukan untuk meraih populasi nasional yang homogen bagi negara Kristen baru. Tanggapan yang disampaikanoleh militer ‘Utsmaniyah juga berdarah, menyebabkan pembantaian balasan yang mencirikan kesultanan ini, tanpa berhenti, selama setengah abad terakhir keberadaannya. Minoritasnya Armenia dan Yunani yang tersisa dalam kesultanan menentang reformasi dan mendukung pemberontakan nasionalis untuk meraih kemerdekaan mereka sendiri. Namun, minoritas Yahudi mengetahui penganiayaan yang menimpa kaum Yahudi maupun Muslim sepanjang pemberontakan dan setelah pembentukan negara Kristen baru; oleh karena itu, mereka mendukung integritas integritas ‘Utsmaniyah. Mereka tidak hanya menolak memberi dukungan kepada nasionalis Kristen, tetapi juga kepada Zionis Yahudi, Zionis yang memulai kegiatan mereka dalam kerajaan pada akhir abad meskipun upaya mereka untuk memperoleh izin ‘Utsmaniyah guna mendirikan negara Yahudi di Palestina ditolak. Pada saat yang sama, ribuan Yahudi lari dari penganiayaan di Rusia dan Eropa Tengah selama tahun-tahun akhir abad kesembilan belas, didorong untuk menetap di bagian lain kesultanan n’Utsmaniyah, terutama pada masa pemerintahan Sultan Abdulhamid II, dan mereka membuat sumbangan signifikan dalam modernisasi pertanian, industri, serta perdagangan ‘Utsmaniyah.
Pada masa konstitusional (1909-1918) setelah itu, Kesultanan ‘Utsmaniyah mengalami era paling demokratis sepanjang sejarahnya. Sejumlah besar partai politik memilih wakilnya untuk parlemen ‘Utsmaniyah, yang melaksanakan reformasi besar sekular dan liberal. Pada awalnya anggota dari berbagai kebangsaan bekerja untuk memperkuat dan mempertahankan kerajaan. Akan tetapi, hal ini diakhiri oleh pencaplokan Bosnia oleh Austria dan penaklukan Rumelia Timur oleh Bulgaria. Peristiwa ini merangsang minoritas Kristen untuk meninggalkan dukungan mereka yang berusia pendek kepada kerajaan dan melanjutkan revolusi keras serta berdarah, terutama di Macedonia dan Anatolia Timur, serta tanggapan keras dari militer ‘Utsmaniyah untuk memulihkan ketertiban hanya menambah kekerasan. Faktor lain yang berpengaruh ialah penaklukan Italia atas Provinsi Libia dalam Perang Tripolitania yang pendek (1911) dan kemenangan negara independen baru di Eropa Tenggara dalam Perang Balkan Pertama (1912), yang mendorong ‘Utsmaniyah keluar dari sisa provinsi Eropa mereka dan mengancam kendali ‘Utsmaniyah atas Istanbul. Ketika ribuan pengungsi Muslim dan Yahudi yang menghindari serangan Kristen membanjir ke dalam Istanbul, dan tatkala sisa bagian kerajaan jatuh ke dalam keputusasaan serta kekacauan yang meningkat, pemimpin Turki Muda, yaitu Enver Pasha, Talat Pasha, dan Kemal Pasha, pada 1912 mampu mengakhiri demokrasi ‘Utsmaniyah yang berumur pendek. Mereka mendirikan otokrasi yang berhasil membela Istanbul dan mengambil manfaat dari perselisihan di antara negara-negara Balkan selama Perang Balkan Kedua (1913) untuk memperoleh kembali Edirne dan Thrace Timur, lalu memperkenalkan hukum sosial serta ekonomi. Meskipun sebagian besar politisi dan rakyat kerajaan tidak ingin terlibat dalam konflik selanjutnya, Triumvirat Turki Muda juga membawa kerajaan ke dalam Perang Dunia I di sisi Jerman dan Austria, yang berujung pada kekalahan dan kehancuran dirinya bersama sekutunya. Sisa penduduk ‘Utsmaniyah hancur akibat serbuan besar-besaran Rusia di timur maupun oleh blokade angkatan laut Sekutu, yang menyebabkan kemiskinan dan kematian berskala besar dengan berlanjutnya perang. Namun, Perang Kemerdekaan Turki setelah itu (1918-1923) di bawah pimpinan Mustafa Kemal Atatuk dan Ismet Inonu mengalahkan upaya Sekutu untuk mengambil alih wilayah yang sebagian besar diduduki oleh orang Turki, yang kemudian berujung pada pembentukan Republik Turki di Anatolia dan Thrace Timur.



C.    PERKEMBANGAN PERADABAN TURKI USMANI
Terdapat beberapa kemajuan dalam berbagai bidang sejak kerajaan Dinasti Utsmaniyyah berdiri  antara lain pada bidang pemerintahan dan militer, bidang ilmu pengetahuan dan budaya, dan bidang keagamaan. Dalam perkembangan selanjutnya, Dinasti Utsmaniyyah cukup memberi pengaruh dalam bidang peradaban Islam yaitu dengan corak peradabannya yang khas“. Sehingga pengaruh tersebut menyebar luas ke berbagai wilayah kekuasaan Dinasti Utsmani yang membentang luas.
1.      Bidang Pemerintahan dan Militer
                 Dalam bidang ini, Kerajaan Turki Utsmani telah menciptakan sistem pemerintahan dan militer yang kuat dan terorganisir. Mereka banyak menyerap sistem pemerintahan dan militer dari Bizantium. Dengan dipimpin oleh raja-raja yang kuat, Kerajaan Turki Utsmani dengan mudahnya melakukan ekspansi wilayah dengan cepat dan luas. Serta didukung oleh beberapa faktor lain, seperti keberanian, ketangguhan, dan keterampilan kekuatan militer yang siap bertempur kapan saja.
            Awal mula kekuatan militer ini terorganisir dan teratur yaitu sejak terjadi kontak senjata dengan bangsa Eropa. Sejak saat itu, kekuatan militer telah terorganisir dengan baik dan strategi tempur militer Dinasti Utsmani berlangsung tanpa adanya halangan. Namun dalam jangka waktu yang singkat setelah kemenangan tercapai, kekuatan militer ini dilanda kekisruhan yang disebabkan oleh para prajurit kerajaan. Mereka beranggapan bahwa mereka berhak menerima gaji karena merasa dirinya sebagai pemimpin. Dengan menurunnya kesadaran di kalangan prajurit kerajaan, maka dari itu Orkhan bin Utsman (1326-1359 M) melakukan perombakan besar-besaran dalam tubuh militer. Dalam perombakannya, bangsa-bangsa non-Turki dijadikan sebagai bagian dari prajurit militer. Bahkan anak-anak Kristen yang masih kecil diasramakan dan dibimbing dalam suasana Islam untuk dijadikan prajurit.
            Program ini ternyata berhasil dengan terbentuknya kekuatan militer baru yang dinamai dengan Jenissari atau Inkisyariah. Dengan pasukan ini, membuat kerajaan Utsmani sebagai kerajaan mesin perang yang paling kuat dan mempermudah dalam melakukan ekspansi wilayah. Di samping Inkisyariah, terdapat pula prajurit dari tentara kaum Feodal yang dikirim ke pemerintahan pusat. Pasukan ini disebut tentara atau kelompok militer Thaujiah. Armada laut juga dibenahi, karena mempunyai peranan yang besar dalam perjalanan ekspansi Turki Utsmani. Pada abad ke-16, Dinasti Utsmani mencapai puncak kejayaan dengan menguasai berbagai wilayah baik itu di Asia, Afrika, maupun Eropa. Faktor utama yang mendorong kemajuan militer ini adalah tabiat bangsa Turki itu sendiri yang bersifat militer, disiplin dan patuh terhadap peraturan.
            Di samping keberhasilan ekspansi wilayah, jaringan pemerintahan yang teratur mulai tercipta. Dalam mengelola wilayahnya yang luas, para sultan-sultan Turki Utsmani senantiasa bersikap tegas. Dan dalam struktur pemerintahan, sultan sebagai penguasa tertinggi, dibantu oleh Shadr al-a’zham (perdana menteri), Pasya (gubernur), dan Al-zanaziq (bupati). Untuk mengatur pemerintahan kerajaan pada masa Sultan Sulaiman I, disusunlah sebuah kitab undang-undang (qanun). Kitab tersebut dinamakan Multaqa al-abhur, yang menjadi pegangan hukum bagi kerajaan Utsmani sampai datangnya reformasi pada abad ke-19.


2.      Bidang Ilmu Pengetahuan
            Sebagai bangsa yang berdarah militer, kerajaan Turki Utsmani lebih banyak memfokuskan kegiatan mereka dalam bidang kemiliteran, sehingga kemajuan dalam bidang ilmu pengetahuan tidak begitu menonjol. Maka sebab itu, dalam khazanah intelektual Islam kita tidak menemukan ilmuwan terkemuka dari Dinasti Turki Utsmani. Namun, mereka banyak berkiprah dalam bidang arsitektur. Bukti nyatanya ialah bangunan masjid-masjid yang indah seperti Masjid Jami’ Sultan Muhammad Al-Fatih, Masjid Agung Sulaiman, dan Masjid Abi Ayyub Al-Anshari. Dan masjid-masjid tersebut dihiasi dengan kaligrafi yang indah.
3.      Bidang kebudayaan
            Dinasti Turki Utsmani telah membawa peradaban Islam sebagai peradaban yang cukup maju. Dalam bidang kebudayaan, kerajaan Turki Utsmani banyak memunculkan tokoh-tokoh penting yang terkenal pada abad ke-16, 17, dan 18. Seperti pada abad ke-17, muncul penyair yang terkenal yaitu Nafi’ (1582-1636 M). Nafi’ bekerja untuk Murad pasya dengan menghasilkan karya karya sastra qasidah yang mendapat tempat di hatru para sultan.
            Diantara penilis yang membawa pengaruh persia ke dalam istana ustmani adalah yusuf nabi (1642-1712 m), ia muncul sebagai juru tulis bagi Musahif Musthafa salah seorang mentri sosial dan ilmu agama, yusuf nabi menunjukkan pengetahuannya yang luar biasa dalam puisinya, menyentuh hampir semua persoalan agama, filsafat, roman, cinta, anggur dan mistisme, ia juga membahas biografi, sejarah, bentuk prosa, geografi dan rekaman perjalanan. 
            Dalam bidang sastra prosa, Kerajaan Utsmani melahirkan dua tokoh terkemuka, yaitu Katip Celebi dan Evliya Celebi. Dari semua penulis yang terbesar adalah Mustaha bin Abdullah, yang dikenal dengan Katip Celebi atay Haji Halife (1609-1657 M). Beliau menulis buku bergambar dalam karya terbesarnya Kasyf Az-Zunun fi Asmai-Kutub wa Al-Funun, sebuah presentasi biografi penulis-penulis penting di dunia timur bersama daftar dan deskripsi lebih dari 1.500 buku berbahasa Turki, Persia, dan Arab, ia pun menulis buku-buku yang lain.
Pada masa Sultan Sulaiman, di kota-kota besar dan kota-kota lainnya banyak dibangun masjid, sekolah, rumah sakit, gedung, jembatan, saluran air, villa dan pemandian umum. Disebutkan bahwa 235 buah dari bangunan itu dibangun di bawah koordinator Sinan, seorang arsitek asal Anatolia.
4.      Bidang Keagamaan
            Menurut tradisi masyarakat Turki, agama ialah salah satu faktor penting dalam transformasi sosial dan politik seluruh masyarakat. Masyarakat diklasifikasi berdasarkan agama, dan kerajaan Turki Utsmani sendiri sangat berkaitan erat dengan syari’at sehingga fatwa ulama dapat dijadikan sebagai hukum yang berlaku. Ulama itu sendiri sangat berperan penting pada wilayah kerajaan dan masyarakat. Pejabat urusan agama tertinggi yang disebut dengan Mufti memiliki wewenang dalam memberi fatwa resmi berdasarkan masalah-masalah keagamaan yang muncul dalam masyarakat. Tanpa legitimasi Mufti, keputusan hukum bisa tidak berjalan.[3]
Pada bidang keagamaan pada masyarakat Turki mengalami beberapa kemajuan, seperti dalam hal tarekat. Tarekat yang berkembang pada masa itu adalah tarekat Bektasyi, dan tarekat Maulawi yang di mana kedua tarekat ini banyak dianut oleh kalangan sipil dan militer. Tarekat Bektasyi banyak dianut oleh kalangan Yeniseri sehingga mereka sering disebut dengan tentara Bektasyi. Sedangkan tarekat Maulawi mendapat dukungan dari pihak kerajaan dan menjadi penyeimbang Yenesseri Bektasyi.         
            Adapun mengenai kajian ilmu-ilmu keagamaan Islam, seperti fiqh, ilmu kalam, tafsir dan hadits bisa dikatakan tidak mengalami perkembangan. Dikarenakan para penguasa kerajaan hanya fanatik terhadap satu faham (madzhab) saja. Seperti Sultan Abdul Hamid yang begitu fanatik terhadap aliran Al-Asy’ariyah. Ia merasa perlu mempertahankan aliran tersebut dari kritik aliran yang lain, seperti dengan memerintahkan kepada Syaikh Husein Al-Jisr Ath-Tharablusi untuk menulis kitab Al-Husun Al-Hamidiyah (Benteng Pertahanan Abdul Hamid). Kitab tersebut mengandung tentang masalah kalam dan cara untuk melestarikan aliran kalam yang dianutnya. Dengan sikap fanatik yang berlebihan ini maka bidang ilmu keagamaan khususnya dalam masalah ijtihad tidak berkembang.

BAB III
PENUTUP
  1. KESIMPULAN
Usmani adalah sebuah kerajaan Islam yang berpusat di Turki dan merupakan satu di antara tiga kerajaan Islam yang besar pada Abad Pertengahan, selain Kerajaan Safawi di Persia (Iran) dan Kerajaan Mughal di India. Dalam sejarah Islam, kerajaan ini didirikan oleh bangsa Turki dari kabilah Oghus yang mendiami daerah Mongol dan daerah Utara Negeri Cina. Dalam jangka waktu kira-kira tiga abad, mereka pindah ke Turkistan kemudian Persia dan Irak.
Kemajuan dan perkembangan ekspansi kerajaan Usmani yang demikian luas dan berlangsung dengan cepat itu diikuti pula oleh kemajuan-kemajuan dalam bidang-bidang kehidupan. Yang terpenting diantaranya adalah sebagai berikut : Bidang Pemerintahan dan Militer, Bidang Ilmu Pengetahuan, Bidang Keagamaan.
Zaman keemasan Dinasti Turki Usmani terjadi pada masa Sultan Sulaiman I (The Great, The Magnificent, al-Qanuni). Penaklukan –penaklukan di lakukan daratan Eropa maupun di Asia dan Afrika Utara. Kerajaan Usmani mulai melemah setelah wafatnya Sulaiman al-Qanuni. Sultan-sultan yang menggantikannya umumnya lemah dan tidak berwibawa.

DAFTAR PUSTAKA
Amin, Samsul Munir. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: Amzah.2015
Supriyadi, Dedi. Sejarah Peradaban Islam. Bandung: CV Pustaka Setia.2008
Yatim, Badri. Sejarah Peradaban Islam Dirasah Islamiyah II. Jakarta: Rajawali Pers. 2014
Eva Fikriyah dan Arie Kurniawan. Sejarah Kebudayaan Islam. Diponegoro: CV Sindunata.
Achmadi, Wahid, dkk. Menjelajahi Peradaban Islam. Sleman:Pustaka Insani Madani. 2006



[1] Badri Yatim. Sejarah Peradaban Islam Dirasah Islamiyah II. Jakarta: Rajawali Pers. 2014.hlm 156
[2] Dedi Supriadi. Sejarah Peradaban Islam. Bandung: CV Pustaka Setia.2008.h168
[3] Drs. Samsul Munir Amin, M.A., Sejarah Peradaban Islam, hlm. 204.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

ngan luppa comment yy

Mengenai Saya

Foto saya
نحن نحكم بالظواهر ويتولّى الله السرائر