BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Penyebaran Islam pada abad pertengahan lebih terfokus pada tiga kerajaan
besar, yaitu Kerajaan Turki usmani, Kerajaan Safawi dan Kerajaan Mugal .
Kerajaan Turki Usmani merupakan salah satu dari tiga kerajaan islam terbesar
pada abad pertengahan. Kerajaan ini adalah kerajaan Islam yang cukup kuat
dengan bukti dapat mengalahkan bangsa mongol. Pada masa kerajaan ini, Islam
mengalami berbagai kemajuan di beberapa bidang dan yang paling utama pada
bidang perluasan wilayah.
Dari keterangan diatas, kita dapat membahas lebih dalam tentang bagaimana
proses berdirinya Kerajaan Turki usmani,
perkembangan politik dan sosial , hingga kemajuan peradaban kerajaan tersebut
yang akan kami bahas pada bab selanjutnya.
B. Rumusan masalah
1.
Bagaimana proses berdirinya kerajaan Turki
Usmani?
2.
Bagaimana perkembangan politik dan sosial
kerajaan Turki Usmani?
3.
Bagaimana perkembangan peradaban kerajaan
Turki Usmani?
C. Tujuan masalah
1.
Untuk mengetahui proses berdirinya kerajaan
Turki Usmani.
2.
Untuk mengetahui perkembangan politik dan
sosial kerajaan Turki Usmani.
3.
Untuk mengetahui perkembangan peradaban pada
masa Turki Usmani.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
PROSES BERDIRINYA KERAJAAN TURKI USMANI[1]
Pendiri kerajaan utsmani adalah
bangsa Turki dan kabilah Orghuz yang mendiami daerah Mongol dan daerah utara
negeri Cina. Setelah tiga abad mereka pindah ke Turkistan kemudian Persia dan
Irak. Mereka
masuk Islam sekitar abad ke sembilan atau ke sepuluh ketika menetap di Asia
Tengah. Pada abad ke-13 M, mereka mendapat serangan dan tekanan dari Mongol,
akhirnya mereka melarikan diri ke Barat dan mencari perlindungan di antara
saudara-saudaranya yaitu orang-orang Turki Saljuk, di dataran tinggi Asia
kecil. Dibawah pimpinan Ertoghrul, mereka
mengabdikan diri kepada Sultan Alauddin II, Ertoghrul dan pasukannya bersekutu
dengan pasukan Saljuk membantu Sultan Alauddin II berperang menyerang Bizantium.
Berkat bantuan mereka inilah Sultan Alauddin mendapat kemenangan. Atas jasa
baik itu, Alauddin menghadiahkan sebidang tanah di Asia Kecil yang berbatasan
dengan Bizantium. Sejak itu mereka terus membina wilayah barunya dan memilih
kota Syukud sebagai ibu kota.
Pada tahun 1289 M Ertoghrul
meninggal dunia . kepemimpinan dilanjutkan oleh putranya Usman. Putra Ertoghrul
inilah yang dianggap sebagai pendiri kerajaan Usmani. Usman memerintah pada
tahun 1290 M – 1326 M. Ertoghrul banyak berjasa kepada sultan Alauddin II
dengan keberhasilannya menduduki benteng – benteng Bizantium yang berdekatan
dengan kota Broessa. Pada tahun 1300 M bangsa Mongol menyerang kerajaan Seljuk
dan Sultan Alauddin terbunuh. Kerajaan Seljuk Rum ini kemudian terpecah – pecah
dalam beberapa kerajaan kecil. Usman pun menyatakan kemerdekaan dan berkuasa
penuh atas daerah yang didudukinya. Sejak itulah kerajaan Usmani dinyatakan berdiri.
Penguasa pertamanya adalah Usman yang sering disebut juga Usman I.
Setelah
Usman I mengumumkan dirinya sebagai Padisyah al-Usman (raja besar keluarga
Usman) tahun 699 H (1300 M), setapak demi setapak wilayah kerajaan dapat
diperluasnya. Ia menyerang daerah daerah Bizantium dan menaklukan kota Broessa
tahun 1317 M, kemudian, pada tahun 1326 M dijadikan ibu kota kerajaan. Pada
masa pemerintahan Orkhan (726 H/1326 M-761 H/1359 M) Kerajaan Turki Usmani ini
dapat menaklukan Azmir (Smirna) tahun 1327 M, Thawasyanli (1330 M), Uskandar
(1338 M0, Ankara ( 1354 M), dan Gallipoli (1356 M). daerah ini adalah bagian
dari adalah bagian Benua Eropa. Ia dapat menaklukan Adrianopel yang kemudian
dijadikannya sebagai ibu kota kerajaan yang baru, Macedonia, Sopia, Salonia,
dan seluruh wilayah bagian utara Yunani. Merasa cemas terhadap kemajuan
ekspansi kerajaan ini ke Eropa, Paus mengorbankan semangat perang. Sejumlah
besar pasukan sekutu Eropa disiapkan untuk memukul mundur turki usmani. Pasukan
ini dipimpin oleh Sijisman, raja Hongaria. Namun, Sultan Biyazid I (1389-1403
M), pengganti Murad I, dapat menghancurkan pasukan suku Kristen Eropa tersebut.
Peristiwa ini merupakan merupakan catatan sejarah yang amat gemilang bagi umat
islam.
Ekspansi
kerajaan usmani sempat terhenti beberapa lama. Ketika ekspansi diarahkan ke
Konstatinopel, tentara Mongol yang dipimpin Timur Lenk melakukan serangan ke
Asia kecil. Pertempuran hebat terjadi di Ankara itu membawa akibat buruk bagi
Turki Usmani. Penguasa-penguasa Seljuk di Asia Kecil melepaskan diri dari
genggaman Turki Usmani. Wilayah-wilayah Serbia dan Bulgaria juga
memproklamasikan kemerdekaan. Dalam pada itu, putra-putra Biyazid saling
merebut kekuasaan. Suasana buruk ini baru berakhir setelah Sultan Muhammad I
(1403-1421 M) Dapat mengatasinya. Sultan Muhammad berusaha keras menyatukan
negaranya dan mengembalikan kekuatan dan kekuasaan seperti sediakala.
Setelah Timur
Lenk meninggal dunia tahun 1405 M, kesultanan Mongol dipecah dan dibagi-bagi
kepada putra-putranya yang satu sama lain saling berselisih. Kondisi ini
dimanfaatkan oleh penguasa Turki Usmani untuk melepaskan diri dari kekuasaan
Mongol. Namun, pada saat seperti itu juga terjadi perselisihan antara
putra-putra Bayazid (Muhammad, Isa, dan Sulaiman). Setelah sepuluh tahun
terjadi perselisihan perebutan kekuasaan, akhirnya Muhammad berhasil
mengalahkan saudara-saudaranya. Usaha Muhammad yang pertama kali ialah
mengadakan perbaikan-perbaikan yang meletakkan dasar-dasar keamanan dalam
negri. Usahanya ini diteruskan oleh Murad II (1421-1451 M), sehingga Turki
Usmani mencapai puncak kemajuannya pada masa Muhammad II atau biasa disebut
Muhammad Al-Fatih (1451-1484 M).
Sultan Muhammad
II atau yang dikenal dengan sebutan Sultan Muhammad Al-Fatih dapat mengalahkan
Bizantium dan mengalahkan Konstatinopel pada tahun 1453 M. Dengan terbukanya
Konstatinopel sebagai benteng pertahanan terkuat kerajaan Bizantium, maka lebih
mudah bagi kerajaan Turki Usmani untuk memperluas ekspansi ke Benua Eropa. Akan
tetapi ketika Sultan Salim I (1512-1520 M) naik tahta, ia mengalihkan perhatian
ke arah timur dengan menaklukan Persia, Syria, dan dinasti Mamalik di Mesir.
Usaha Sultan Salim I ini dikembangkan oleh Sultan Sulaiman Al Qonuni (1520-1566
M). Ia tidak mengarahkan ekspansinya ke arah timur atau barat, tetapi keseluruh
wilayah yang berada di sekitar kerajaan Turki Usmani merupakan obyek yang
menggoda hatinya. Sulaiman berhasil menundukkan Irak, Belgrado, Pulau Rodhes,
Tunis, Budapest, dan Yaman. Dengan demikian, luas wilayah Turki Usmani pada masa
Sultan Sulaiman Al-Qonuni mencakup Asia Kecil, Armenia, Irak, Siria, Hejaz, dan
Yaman di Asia, Mesir, Libia, Tunis, dan Aljazair di Afrika, Bulgaria, Yunani,
Yugoslavia, Albania, Hongaria, dan Rumania di Eropa.
Setelah Sultan
Sulaiman meninggal dunia, terjadilah perebutan kekuasaan antara putra-putranya,
yang menyebabkan kerajaan Turki Usmani mundur. Akan tetapi, meskipun terus
mengalami kemunduran, kerajaan ini untuk masa beberapa abad masih dipandang
sebagai negara yang kuat, terutama dalam bidang militer. Kerajaan ini memang
masih bertahan lima abad lagi setelah itu. Dalam perjalanan sejarah selanjutnya
Turki Usmani merupakan salah satu dari tiga kerajaan besar yang membawa
kemajuan dalam Islam. Turki Usmani berkuasa sekitar 7
abad dengan 37 sultan.
B.
PERKEMBANGAN POLITIK DAN SOSIAL TURKI USMANI[2]
Ø Perkembangan Politik
Zaman Keemasaan.
Zaman keemasan Dinasti Turki Usmani terjadi pada masa Sultan Sulaiman I (The Great, The Magnificent, al-Qanuni).
Ia digelari al-Qanuni (Pembuat Undang-Undang) karena keberhasilannya mmbuat
undang-undang yang mengatur masyarakat.
Meskipun
demikian, poses menuju zaman keemasan sudah mulai sejak seabad sebelumnya
dengan ditaklukkannya wilayah-wilayah di daratan Eropa., termasuk jatuhnya
Constantinopel oleh Sultan Muhammad Al-Fatih. Turki Usmani juga melebarkan
sayapnya ke Afrika Utara menaklukkan Mesir pada masa Sultan Salim I tahun 1517.
Penaklukan –penaklukan selanjutnya dilakukan Sultan Sulaiman I, baik di daratan
Eropa maupun di Asia dan Afrika Utara. Pada masanya wilayah Usmani meliputi
Aljazair, Mesir, Hijaz, Armenia, Irak, Asia Kecil, Balkan, Bulgaria, Bosnia,
Yunani, Hongaria, Rumania, dan tiga laut, yaitu Laut Merah, Laut Tengah, dan
Laut Hitam. Karena keluasan wilayahnya, Kerajaan Usmani menjadi adikuasa atau super power yang tidak ada tandingannya
di dunia. Eropa saat itu sedang lemah dan Amerika belum muncul, sedangkan dunia
Islam di Timur yaitu Kerajaan Safawi di Persia dan Mughal di India tidak
sebesar dan sekuat Usmani. Ada lima faktor yang menyebabkan kesuksesan Kerajaan
Usmani dalam perluasan wilayah Islam. (1) Kemampuan orang Turki dalam strategi
perang terkombinasi dengan cita-cita memperoleh ganimah (harta rampasan
perang). (2) Sifat dan karakter orang Turki yang selalu ingin maju dan tidak
pernah diam serta gaya hidupnya yang sederhana, sehingga mudah digerakkan untuk
tujuan penyerangan. (3) Semangat jihad dan ingin mengembangkan Islam. (4) Letak
Istanbul yang sangat strategis sebagai ibukota kerajaan juga sangat menunjang
kesuksesan perluasan wilayah ke Eropa dan Asia. Istanbul terletak di antara dua
benua dan dua laut, dan pernah menjadi pusat kebudayaan dunia, baik kebudayaan
Macedonia, kebudayaan Yunani, maupun kebudayaan Romawi Timur. (5) Kondisi
kerajaan di sekitarnya yang kacau memudahkan Kerajaan Usmani mengalahkannya.
Kerajaan turki Utsmani pada abad
ke-17, banyak mengalami kemunduran. Pada abad ke-17 hingga 18, terdapat
perubahan penting dalam sejarah Turki Utsmani. Berikutnya ekspansi Kerajaan
Turki Utsmani, lembaga-lembaga pemerintahan sering kali kehilangan
kemampuan militer dan administrasinya, dan kerajaan dalam posisi tertekan
dengan regresi ekonomi, pemberontakan rakyat, dan beberapa kekalahan militer.
Perseteruan antara pemerintahan pusat dengan elit lokal untuk mengontrol
pendapatan pajak dari rakyat muncul ke permukaan dan kekuasaan dialihkan dari
pemerintah pusat kepada kelompok Janissari, ulama, dan keluarga Utsmani yang
telah mapan dalam pemerintahan pusat.
Munculnya kemunduran Turki diawali dari
kekacauan pemerintahan yang dipimpin oleh Sultan Muhammad III pengganti Murad
III. Dalam situasi seperti itu dimanfaatkan oleh Australia sehingga mampu
memukul mundur Kerajaan Utsmani. Keadaan semacam ini terus berlangsung sampai
pada masa pemerintahan Ibrahim (1640-1648) dan puncak kehancuran pemerintahan
Turki Utsmani
pada abad k-17 terjadi masa Mustofa.
Di masa Sultan Ahmad I, Persia
mengadakan perlawanan terhadap Turki Utsmani, dan pada tahun 1612 M. Suatu
perjanjian damai ditanda tangani, yang sangat menguntungkan Persia. Pada tahun
1616 M, ketika bangsa Turki datang lagi dengan tentara yang kuat dan mengepung
Eriven, bangsa Persia
melawan dan memukul mundur para penyerang.
Melihat kenyataan itu para
negarawan Turki mulai memikirkan langkah-langkah perbaikan dalam segala bidang
demi kestabilan dan kekuatan kerajaan. Langkah-langkah perbaikan kerajaan Turki
Utsmani mulai diusahakan oleh
Sultan Murod IV dan memperoleh kemajuan. Namun, situasi politik yang sudah
membaik itu kembali merosot pada masa
pemerintahan Ibrahim (1640-1648), karena ia termasuk orang yang lemah.
Pada masa tersebut orang-orang
Vanesia melakukan peperangan laut untuk melwan dan berhasil mengusir
orang-orang Turki Utsmani dari Cyprus dan Creta tahun 1645 M. Kekalahan iu
membawa Muhammad Kopru ke kedudukan sebagai wazir atau Sadr Al-Azham (perdana
menteri) yang diberi kekuasaan absolut. Ia berhasil mengembalikan peraturan dan
mengonsolidasikan stabilitas keuangan negara.
Setelah Kopru meninggal dunia (1661
M) jabatannya dipegang oleh anaknya, Ibrahim menyangka bahwa kekuatan
militernya sudah kuat kembali, karena itu ia menyebu Hongria dan mengancam
Viena, namun perhitungan Ibrahim meleset, ia kalah dalam pertempuran itu secara
berturut-turut.
Pada tahun 1683, Turki Utsmani
mengadakan penyerangan ke Benteng Wina, tetapi mereka mengalami kegagalan. Hal
itu meyakinkan bangsa Barat dan Eropa bahwa Turki Utsmani telah lemah, untuk
itu mereka mengadakan banyak serangan ke wilayah kekuasaan Turki Utsmani.
Sejak Sultan Turki gagal dalam
merebut kota Wina pada tahun 1683, peranan Kerajaan Osmaniah pun di medan
peperangan berubah. Sejak tahun 1683, tentara turki kebanyakan hanya berusaha
sekedar menangkis pukulan-pukulan musuh dan tidak perdaya untuk melancarkan
serangan-serangan.
Pada
masa selanjunya, wilayah Turki Utsmani yang luas itu sedikit demi sedikit
terlepas dari kekuasaanya, direbut oleh negara-negara Eropa yang baru mulai
bangun. Pada tahun 1699 M, terjadi perjanjian Korlowith yang memaksa sultan
untuk menyerahkan seluruh Hongria, sebagian besar Slovenia dan Kroasia kepada
Hapsburg dan Heminietz, Pedolia, Ukrania, Morea, dan sebagai Dalmetia kepada
orang-orang Venesia.
Ø
Perkembangan
Sosial
Perluasan
wilayah ‘Utsmaniyah yang cepat menciptakan tekanan finansial, ekonomi, dan
sosial yang parah, tetapi masalah ini berhasil diselesaikan dalam pemerintahan
Sultan Bayuzid II (mem. 1481-1521) yang panjang dan relatif damai. Hal ini
memungkinkan perluasan wilayah substansial pada bagian pertama abad keempat
belas, melebihi perbatasan kekaisaran pertama, melintasi Sungai Danube melalui
Hongaria ke gerbang Wina dan ke timur ke dalam wilayah kekaisaran Islam klasik
Umayyah dan ‘Abbasiyah. Pada masa pemerintahan Sultan Selim I (mem. 1512-1520)
“Sang Muram” (Yavuz), Shafawiyah di
Iran sudah mulai bangkit sejak sekitar 1500 dan mengancam akan menaklukkan Kerajaan
Mamluk serta Mesir yang semakin lemah dan terpecah belah. Sultan Selim I
menganggapi hal ini dengan pertama-tama mengalahkan Shafawiyah di Chaldiran
(1514) di Anatolia Timur, lalu menaklukkan wilayah Mamluk dalam serbuan kilat
melalui Suriah dan Mesir pada 1516-1517, lalu segera mencaplok Semenanjung Arab
ke dalam wilayahnya. Sultan Suleyman “Sang Pemberi Hukum” (Kanuni; disebut “Sang Agung” di Eropa) memerintah dari 1520 hingga
1566. Didukung oleh persekutuan dengan Prancis melawan musuh-bersama mereka,
Habsburg, dia menaklukkan Hongaria (1526) dan mengepung Wina (1529), yang
meskipun gagal, diikuti dengan penciptaan sistem prajurit gazi perbatasan yang melakukan perang gerilya sambil menjarah, jauh
ke dalam Eropa Tengah selama dua abad berikutnya. Dengan keadaan seri perang
daratan, pertempuran antara ‘Utsmaniyah dan Habsburg berpindah ke Laut
Mediterania. Suleyman menciptakan armada yang kuat di bawah pimpinan gubernur
bajak laut Aljazair, Admiral Besar Hairuddin Barbarossa. Komandan ini tidak hanya
membawa Aljazair ke dalam kekaisaran sebagai provinsi yang pendapatannya terus
disisihkan untuk mendukung angkatan laut ‘Utsmaniyah. Dia juga membuat seluruh
Laut Mediterania menjadi milik ‘Utsmaniyah. Suleyman juga memperluas kekuasaan
‘Utsmaniyah di Timur. Setelah menaklukkan Irak dan Kaukasus Selatan dari tangan
Shafawiyah (1535), dia membangun armada timur yang berbasis di Teluk Persia dan
Laut Merah. Armada ini menaklukkan Yaman dan mematahkan upaya armada Eropa
untuk memblokade rute pelayaran internasional lama melalui Timur Tengah. Dia
juga lalu membantu para pemimpin Muslim di India Barat dan Indonesia melawan
orang Portugis serta lainnya.
Pemerintahan
dan Masyarakat. Pemerintahan Kanuni Suleyman
menandai puncak kekuasaan dan kemakmuran ‘Utsmaniyah serta perkembangan
tertinggi dalam sistem pemerintahan, sosial, dan ekonomi. Para sultan
‘Utsmaniyah memelihara pemisahan sosial tradisional Timur Tengah antara kelas
pemerintah yang sangat kecil (osmanlilar atau
“Ottoman”) di puncak, yang fungsinya terbatas terutama menjaga ketertiban dan
mengamankan sumber keuangan yang cukup untuk memelihara dirinya dan memainkan
perannya, serta kelas warga dari raya (reaya,
“kumpulan yang dilindungi”) yang besar, diorganisasi menjadi komunitas
otonom berdasarkan agama (millet)
atau mata pencaharian (esnaf atau
“serikat kerja”) yang mengurus semua aspek kehidupan yang tidak dikendalikan
oleh kelas pemerintah.
Kelas Pemerintah. Keanggotaan
kelas pemerintah terbuka bagi semua yang menyatakan dan menunjukkan kesetiaan
kepada sultan, dinasti, dan kekaisarannya; yang memeluk agama Islam; yang
mengetahui dan mempraktikkan Jalan ‘Utsmaniyah, sistem perilaku yang sangat
kompleks, termasuk menggunakan bahasa ‘Utsmani, dialek buatan yang diturunkan
dari bahasa Turki, Arab, dan Persia, dan yang mengetahui serta menjalankan
praktik yang digunakan oleh kelompok-kelompok pembagian kelas pemerintah. Orang
yang tidak memenuhi syarat ini dianggap sebagai anggota kelas warga, apa pun
asal usul maupun agamanya.
Kelas Warga. Seluruh
fungsi masyarakat dan pemerintahan serta administrasi yang tidak ditangani oleh
kelas pemerintah didelegasikan kepada reaya
(“kelompok terlindungi” atau raya), yang membentuk kelas warga. Untuk tujuan
ini, reaya diorganisasi ke dalam
komunitas berdasarkan agama, yang pernah disebut cema’at, ta’ife, dan akhirnya millet,
dan juga ke dalam serikat pekerja (esnaf),
tarekat darwis (thariqah) serta
kelompok lain yang membentuk sublapisan masyarakat ‘Utsmaniyah.
Yang terpenting adalah komunitas
berdasar agama, yang paling sering disebut millet,
yang empat di antaranya didirikan oleh Mehmed sang Penakluk segera setelah dia
menjadikan Istanbul sebagai ibu kotanya. Millet
Ortodoks Yunani dan Gregorian Armenia dipimpin oleh patriark dan memiliki
staf pendeta yang diorganisasi dalam hierarki di bawah otoritas mereka. Selain
etnis Yunani, millet ortodoks
mencakup semua orang Slavia dan Rumania yang tinggal di Eropa Tenggara; millet Gregorian Armenian tidak hanya
mencakup Armenia tetapi juga orang Gipsi, Nestoria, Kopti, dan Kristen Timur
lainnya. Millet Muslim dipimpin oleh
Seyhulislam dan Lembaga Budaya, dan oleh karena itu merupakan satu-satunya millet yang memiliki koneksi organik
dengan kelas pemerintah. Mehmed II, dan penggantinya Bayezid II mencoba
mengorganisasi millet Yahudi, seperti
millet Kristen, dengan menunjuk Moses
Capsali, rabi besar Istanbul di bawah kaum Bizantium yang terakhir, sebagai
kepala seluruh rabi dan semua orang Yahudi di seluruh kesultanan. Namun, dalam
agama Yahudi tidak ada hierarki agama seperti dalam Kristen. Kaum Yahudi juga
terbagi lagi atas mereka yang datang dari Spanyol (Sephardim, atau “Spanyol”),
sisa Eropa (Asykenazim, atau “Jerman”), dan kesultanan Islam klasik di Timur
Tengah (Musta’rab, atau “terarabisasi”), serta mereka yang telah berabad-abad
bertahan atas penganiayaan gereja ortodoks Yunani dalam Kekaisaran Bizantium
(Romaniote). Rabi-rabi besar awal ditunjuk oleh sultan, dan oleh karena itu,
tidak berhasil mengendalikan pengikut mereka sehingga upaya ‘Utsmaniyah untuk
menunjuk rabi besar ditinggalkan setelah 1535, dan baru diteruskan lagi tiga
abad kemudian sebagai bagian reformasi Tanzimat yang mentransformasi kerajaan
ini pada abad kesembilan belas. Oleh karena itu, millet Yahudi tradisional terdiri atas ratusan komunitas kecil (kahal, kehilla) masing-masing melingkupi
sinagong; dengan demikian, hubungan dengan pejabat kelas pemerintah tidak
dijalankan oleh pimpinan millet
seperti halnya millet Muslim dan
Kristen, tetapi oleh bankir dan dokter Yahudi yang kaya serta berpengaruh, yang
melayani sultan dan angota kelas pemerintah lain hingga akhir abad keenam
belas.
Tujuan besar sistem millet adalah mencegah konflik
antaragama, yang telah menghantui kehidupan di Timur Tengah dan Eropa Tenggara
pada masa yang kemudian.
Kemunduran. Kesultanan
‘Utsmaniyah mulai mundur pada akhir pemerintahan Suleyman. Kemunduran ini
berlanjut dalam berbagai bentuk hingga perpecahan akhir kesultanan ini akibat
Perang Dunia I. Perpecahan ini diakibatkan oleh perpaduan banyak faktor yang
saling bergantung, yang kebanyakan bersifat sebab-akibat. Dominasi kelas
pemerintah oleh kelas devsirme
dimulai sekitar 1540, menyebabkan kemunduran dalam kualitas pemimpin dan
terjadinya nepotisme, korupsi, dan salah-atur berskala besar dalam semua unsur
populasi. Pajak ditarik berlebihan oleh anggota kelas pemerintah yang koruptor
dan menyebabkan petani lari dari tanah ‘Utsmaniyah, untuk membentuk komplotan
perampok atau bermigrasi ke kota yang sudah penuh sesak. Kekurangan pekerjaan
dan makanan di perkotaan menyebabkan kelaparan, penyakit, dan anarki.
Perjanjian kapitulasi yang membolehkan warga Eropa tinggal di wilayah
‘Utsmaniyah di bawah hukum mereka sendiri,sebagaimana ditegakkan oleh duta dan
konsul mereka, berubah menjadi alat eksploitasi semikolonial. Hal ini
memungkinkan tidak hanya orang Eropa, tetapi juga orang-orang Yunani dan
Armenia warga kesultanan yang menerima perlindungan, untuk mendominasi sistem
ekonomi ‘Utsmaniyah dan mengusir kaum Muslim dan Yahudi. Kedua kaum ini
akhirnya semakin miskin pada abad ketujuh belas dan kedelapan belas. Bagi
sebaggian besar warga, penderitaan ini diringankan oleh millet dan serikat pekerja, yang setidaknya memberi sebagian
perlindungan dari dampak terburuk anarki dan salah-atur. Akan tetapi, banyak
juga orang yang berpaling dari badan agama resmi pada gerakan mistik yang lebih
banyak menawarkan penghiburan emosional dan perlindungan praktis, seiring
dengan terus memburuknya keadaan ketika kemunduran berlangsung lebih cepat.
Reformasi
dan Modernisasi. Kebanyakan anggota kelas
pemerintahan tidak berusaha mereformasi pelanggaran itu karena mereka sendiri
memperoleh kepentingan jauh lebih besar dari anarki daripada yang bisa
dilakukan oleh para pendahulunya di bawah dominasi sultan. Pada anad ketujuh
belas dan kedelapan belas, negara-negara Eropa yang baru bangkit mengetahui
betapa lemah ‘Utsmaniyah dan bergerak untuk menaklukkan wilayah ‘Utsmaniyah di
Hongaria dan Eropa Tenggara. Baru pada saat itulah kelas pemerintah menerima
sejenis reformasi untuk mempertahankan kesultanan yang memberi hak istimewa
kepada mereka. Di bawah pimpinan Sultan Murad IV (mem. 1623-1640) dan dinasti
wazir besar Koprulu yang diberi kekuasaan pada tahun-tahun terakhir abad
ketujuh belas oleh Sultan Mehmed IV (mem. 1648-1687), dilakukan upaya untuk
mereformasi sistem guna menyelamatkan kesultanan. Namun, reformasi ini
dilakukan atas dasar keyakinan luas bahwa lembaga dan praktik ‘Utsmaniyah lebih
unggul daripada apa pun yang dikembangkan di Eropa Kristen. Kelemahan
‘Utsmaniyah kemudian diannggap bukanlah akibat dari kelemahan lembaganya,
melainkan akibat kegagalan menerapkannya seperti ketika abad-abad kejayaan
‘Utsmaniyah. Oleh karena itu, reformasi tradisioanlistis pada masa itu terdiri
atas upaya memulihkan cara-cara lama, menghukum pejabat dan tentara yang korup
dan tidak cakap. Begitu pemerintah dan tentara cukup pulih untuk menahan
serangan Eropa, korupsi berlanjut hingga krisis berikut memaksakan upaya yang
serupa. Namun, meningkatnya kekalahan terhadap Rusia dan Austria pada abad
kedelapan belas memaksa sultan memodifikasi reformasi tradisionalistis ini
setidaknya bersedia mengakui bahwa senjata dan takik Eropa lebih unggul, serta
setidaknya menerima reformasi sebagian militer ‘Utsmaniyah yang lebih tua tidak
bersedia menerima perubahan seperti ini, karena status mereka dalam kelas
pemerintah bergantung pada monopoli mereka dalam teknik dan praktik
tradisional.keadaan ini memaksa sultan menciptakan satuan infanteri dan
artileri modern yang terpisah. Akan tetapi, tetap saja sebagian besar satuan
ini tidak bisa digunakan karena ditentang oleh satuan yang lama, yang didukung
oleh anggota kelas pemerintah yang juga takut apabila kekuatan baru itu akan
digunakan untuk melenyapkan mereka.
Pada abad kesembilan belas dan awal
abad kedua puluh, meningkatnya ancaman Eropa terhadap integritas ‘Utsmaniyah
dan intervensi langsung Eropa dalam urusan internal ‘Utsmaniyah merangsang dan
mendukung pemberontakan kaum nasionalis Kristen, yang memecah-belah kekaisaran
untuk meraih kemerdekaan mereka. Hilangnya daerah akibat hal tersebut, dan
pembantaian warga Muslim serta Yahudi berskala besar oleh para pemberontak dan
juga oleh negara Kristen yang baru merdeka di Eropa Tenggara, akhirnya memaksa
‘Utsmaniyah mengubah konsep reformasi menjadi konsep yang seluruhnya
memusnahkan lembaga lama dan menggantinya dengan lembaga baru yang sebgaian
besar diimpor dari Barat. Jenis reformasi ini terjadi ketika masa reformasi
Tanzimat, yang direncanakan di bawah Sultan Mahmud II (mem. 1808-1839),
dilaksnakan di bawah anak-anaknya Abdulmecid (mem. 1839-1861) dan Abdulaziz
(mem. 1861-1876), serta dibawa ke puncak sukses di bawah Sultab Abdulhamid II
(mem. 1876-1909). Sistem desentralisasi ‘Utsmaniyah yang bersifat tradisional
diganti dengan sistem yang semakin terpusat. Pemerintah pusat mengerahkan wewenang
dan kegiatannya dalam seluruh wilayah kehidupan ‘Utsmaniyah, mengurangi fungsi millet dan serikat pekerja meskipun
tidak sepenuhnya. Selanjutnya, karena fungsinya meluas, sistem pemerintah
‘Utsmaniyah tradisional diganti dengan sistem pemerintah yang semakin kompleks,
dibagi menjadi cabang eksekutif, leislatif, dan yudikatif. Cabang eksekutif
diorganisasi menjadi kementerian yang dikepalai oleh menteri (vekil) yang besatu dalam kabinet yang
dipimpin oleh wazir besar, atau seorang pejabat yang disebut perdana menteri (bas vekil). Fungsi legislatif diberikan
kepada badan pertimbangan, yang berpuncak dalam dewan negara yang sebagian
bersifat perwakilan (surayi devlet),
dalam dalam seperempat terakhir abad kesembilan belas. Kemudian parlemen yang
dipilih secara demokratis diperkenalkan pertama kali pada 1876-1877, lalu pada
masa konstitusional Turki Muda (1908-1912) setelah turunnya Abdulhamid II.
Administrasi pindah ke hierarki birokrat berpendidikan (memurs) baru, yang mendominasi kehidupan pemerintahan ‘Utsmaniyah
hingga berakhirnya kesultanan ini.reformasi yang diperkenalkan pada abad
kesembilan belas dan awal abad kedua puluh mengubah kesultanan ‘Utsmaniyah
menjadi negara modern yang diperintah dengan realtif baik. Perlakuan terhadap
warga lebih manusiawi daripada perlakuan sebagian besar negara Eropa, yang
dicoba ditiru oleh para pambaru ‘Utsmaniyah. Namun, penekanan diletakkan pada
reformasi lembaga dan fisik, serta birokrasi terpusat mengendalikan kehidupan
warganya jauh lebih banyak daripada dalam sistem desentralisasi tradisional
yang digantikan. Alhasil, gerakan politik liberal, yang dipimpin oleh
‘Utsmaniyah Muda pada tahun-tahun pelaksanaan Tanzimar dan oleh Turki Muda pada
masa pemerintahan Abdulhamid II, menuntut reformasi politik dan sosial pula.
Namun, negara multinasional ini menuju kehancuran oleh menyebarnya nasionalisme
di kalangan minoritas Kristen, yang didorong oleh Rusia dan Austria, yang
berupaya menggunakan gerakan-gerakan ini sebagai kendaraan untuk memperluas
pengaruh mereka ke dalam lembaga-lembaga politik ‘Utsmaniyah dan akhirnya
menggantikan pemerintahan ‘Utsmaniyah dengan pemerintahan mereka sendiri.
Senjata, dorongan moral, dan keuangan yang disediakan oleh berbagai gerakan
nasional Kristen menyebabkan pemberontakan keras, bermula dengan revolusi
Yunani pada awal abad ini dan berlanjut di Serbia serta Bulgaria, dan terutama
di Macedonia ketika ribuan Muslim serta Yahudi dibantai di bawah kebijakan yang
kemudian disebut “pembersihan etnis”, yang ditujukan untuk meraih populasi nasional
yang homogen bagi negara Kristen baru. Tanggapan yang disampaikanoleh militer
‘Utsmaniyah juga berdarah, menyebabkan pembantaian balasan yang mencirikan
kesultanan ini, tanpa berhenti, selama setengah abad terakhir keberadaannya.
Minoritasnya Armenia dan Yunani yang tersisa dalam kesultanan menentang
reformasi dan mendukung pemberontakan nasionalis untuk meraih kemerdekaan
mereka sendiri. Namun, minoritas Yahudi mengetahui penganiayaan yang menimpa
kaum Yahudi maupun Muslim sepanjang pemberontakan dan setelah pembentukan
negara Kristen baru; oleh karena itu, mereka mendukung integritas integritas
‘Utsmaniyah. Mereka tidak hanya menolak memberi dukungan kepada nasionalis
Kristen, tetapi juga kepada Zionis Yahudi, Zionis yang memulai kegiatan mereka
dalam kerajaan pada akhir abad meskipun upaya mereka untuk memperoleh izin
‘Utsmaniyah guna mendirikan negara Yahudi di Palestina ditolak. Pada saat yang
sama, ribuan Yahudi lari dari penganiayaan di Rusia dan Eropa Tengah selama
tahun-tahun akhir abad kesembilan belas, didorong untuk menetap di bagian lain
kesultanan n’Utsmaniyah, terutama pada masa pemerintahan Sultan Abdulhamid II,
dan mereka membuat sumbangan signifikan dalam modernisasi pertanian, industri,
serta perdagangan ‘Utsmaniyah.
Pada masa konstitusional
(1909-1918) setelah itu, Kesultanan ‘Utsmaniyah mengalami era paling demokratis
sepanjang sejarahnya. Sejumlah besar partai politik memilih wakilnya untuk
parlemen ‘Utsmaniyah, yang melaksanakan reformasi besar sekular dan liberal.
Pada awalnya anggota dari berbagai kebangsaan bekerja untuk memperkuat dan
mempertahankan kerajaan. Akan tetapi, hal ini diakhiri oleh pencaplokan Bosnia
oleh Austria dan penaklukan Rumelia Timur oleh Bulgaria. Peristiwa ini
merangsang minoritas Kristen untuk meninggalkan dukungan mereka yang berusia
pendek kepada kerajaan dan melanjutkan revolusi keras serta berdarah, terutama
di Macedonia dan Anatolia Timur, serta tanggapan keras dari militer ‘Utsmaniyah
untuk memulihkan ketertiban hanya menambah kekerasan. Faktor lain yang
berpengaruh ialah penaklukan Italia atas Provinsi Libia dalam Perang
Tripolitania yang pendek (1911) dan kemenangan negara independen baru di Eropa
Tenggara dalam Perang Balkan Pertama (1912), yang mendorong ‘Utsmaniyah keluar
dari sisa provinsi Eropa mereka dan mengancam kendali ‘Utsmaniyah atas
Istanbul. Ketika ribuan pengungsi Muslim dan Yahudi yang menghindari serangan
Kristen membanjir ke dalam Istanbul, dan tatkala sisa bagian kerajaan jatuh ke
dalam keputusasaan serta kekacauan yang meningkat, pemimpin Turki Muda, yaitu
Enver Pasha, Talat Pasha, dan Kemal Pasha, pada 1912 mampu mengakhiri demokrasi
‘Utsmaniyah yang berumur pendek. Mereka mendirikan otokrasi yang berhasil
membela Istanbul dan mengambil manfaat dari perselisihan di antara negara-negara
Balkan selama Perang Balkan Kedua (1913) untuk memperoleh kembali Edirne dan
Thrace Timur, lalu memperkenalkan hukum sosial serta ekonomi. Meskipun sebagian
besar politisi dan rakyat kerajaan tidak ingin terlibat dalam konflik
selanjutnya, Triumvirat Turki Muda juga membawa kerajaan ke dalam Perang Dunia
I di sisi Jerman dan Austria, yang berujung pada kekalahan dan kehancuran
dirinya bersama sekutunya. Sisa penduduk ‘Utsmaniyah hancur akibat serbuan
besar-besaran Rusia di timur maupun oleh blokade angkatan laut Sekutu, yang
menyebabkan kemiskinan dan kematian berskala besar dengan berlanjutnya perang.
Namun, Perang Kemerdekaan Turki setelah itu (1918-1923) di bawah pimpinan
Mustafa Kemal Atatuk dan Ismet Inonu mengalahkan upaya Sekutu untuk mengambil alih
wilayah yang sebagian besar diduduki oleh orang Turki, yang kemudian berujung
pada pembentukan Republik Turki di Anatolia dan Thrace Timur.
C. PERKEMBANGAN PERADABAN TURKI
USMANI
Terdapat beberapa kemajuan dalam berbagai bidang sejak kerajaan Dinasti
Utsmaniyyah berdiri antara lain pada
bidang pemerintahan dan militer, bidang ilmu pengetahuan dan budaya, dan bidang
keagamaan. Dalam perkembangan selanjutnya, Dinasti Utsmaniyyah cukup memberi
pengaruh dalam bidang peradaban Islam yaitu dengan corak peradabannya yang
khas“. Sehingga pengaruh tersebut menyebar luas ke berbagai wilayah kekuasaan
Dinasti Utsmani yang membentang luas.
1.
Bidang Pemerintahan dan Militer
Dalam bidang ini,
Kerajaan Turki Utsmani telah menciptakan sistem pemerintahan dan militer yang
kuat dan terorganisir. Mereka banyak menyerap sistem pemerintahan dan militer
dari Bizantium. Dengan dipimpin oleh raja-raja yang kuat, Kerajaan Turki
Utsmani dengan mudahnya melakukan ekspansi wilayah dengan cepat dan luas. Serta
didukung oleh beberapa faktor lain, seperti keberanian, ketangguhan, dan
keterampilan kekuatan militer yang siap bertempur kapan saja.
Awal mula kekuatan militer ini
terorganisir dan teratur yaitu sejak terjadi kontak senjata dengan bangsa
Eropa. Sejak saat itu, kekuatan militer telah terorganisir dengan baik dan
strategi tempur militer Dinasti Utsmani berlangsung tanpa adanya halangan.
Namun dalam jangka waktu yang singkat setelah kemenangan tercapai, kekuatan
militer ini dilanda kekisruhan yang disebabkan oleh para prajurit kerajaan.
Mereka beranggapan bahwa mereka berhak menerima gaji karena merasa dirinya
sebagai pemimpin. Dengan menurunnya kesadaran di kalangan prajurit kerajaan,
maka dari itu Orkhan bin Utsman (1326-1359 M) melakukan perombakan
besar-besaran dalam tubuh militer. Dalam perombakannya, bangsa-bangsa non-Turki
dijadikan sebagai bagian dari prajurit militer. Bahkan anak-anak Kristen yang
masih kecil diasramakan dan dibimbing dalam suasana Islam untuk dijadikan
prajurit.
Program ini ternyata berhasil dengan
terbentuknya kekuatan militer baru yang dinamai dengan Jenissari atau Inkisyariah.
Dengan pasukan ini, membuat kerajaan Utsmani sebagai kerajaan mesin perang
yang paling kuat dan mempermudah dalam melakukan ekspansi wilayah. Di samping Inkisyariah,
terdapat pula prajurit dari tentara kaum Feodal yang dikirim ke pemerintahan
pusat. Pasukan ini disebut tentara atau kelompok militer Thaujiah. Armada
laut juga dibenahi, karena mempunyai peranan yang besar dalam perjalanan
ekspansi Turki Utsmani. Pada abad ke-16, Dinasti Utsmani mencapai puncak
kejayaan dengan menguasai berbagai wilayah baik itu di Asia, Afrika, maupun
Eropa. Faktor utama yang mendorong kemajuan militer ini adalah tabiat bangsa
Turki itu sendiri yang bersifat militer, disiplin dan patuh terhadap peraturan.
Di samping keberhasilan ekspansi
wilayah, jaringan pemerintahan yang teratur mulai tercipta. Dalam mengelola
wilayahnya yang luas, para sultan-sultan Turki Utsmani senantiasa bersikap
tegas. Dan dalam struktur pemerintahan, sultan sebagai penguasa tertinggi,
dibantu oleh Shadr al-a’zham (perdana menteri), Pasya (gubernur),
dan Al-zanaziq (bupati). Untuk mengatur pemerintahan kerajaan pada masa
Sultan Sulaiman I, disusunlah sebuah kitab undang-undang (qanun). Kitab
tersebut dinamakan Multaqa al-abhur, yang menjadi pegangan hukum bagi
kerajaan Utsmani sampai datangnya reformasi pada abad ke-19.
2.
Bidang Ilmu Pengetahuan
Sebagai bangsa yang berdarah
militer, kerajaan Turki Utsmani lebih banyak memfokuskan kegiatan mereka dalam
bidang kemiliteran, sehingga kemajuan dalam bidang ilmu pengetahuan tidak
begitu menonjol. Maka sebab itu, dalam khazanah intelektual Islam kita tidak
menemukan ilmuwan terkemuka dari Dinasti Turki Utsmani. Namun, mereka banyak
berkiprah dalam bidang arsitektur. Bukti nyatanya ialah bangunan masjid-masjid
yang indah seperti Masjid Jami’ Sultan Muhammad Al-Fatih, Masjid Agung
Sulaiman, dan Masjid Abi Ayyub Al-Anshari. Dan masjid-masjid tersebut dihiasi
dengan kaligrafi yang indah.
3.
Bidang kebudayaan
Dinasti Turki Utsmani telah membawa
peradaban Islam sebagai peradaban yang cukup maju. Dalam bidang kebudayaan,
kerajaan Turki Utsmani banyak memunculkan tokoh-tokoh penting yang terkenal
pada abad ke-16, 17, dan 18. Seperti pada abad ke-17, muncul penyair yang
terkenal yaitu Nafi’ (1582-1636 M). Nafi’ bekerja untuk Murad pasya dengan
menghasilkan karya karya sastra qasidah yang mendapat tempat di hatru para
sultan.
Diantara penilis yang membawa
pengaruh persia ke dalam istana ustmani adalah yusuf nabi (1642-1712 m), ia
muncul sebagai juru tulis bagi Musahif Musthafa salah seorang mentri sosial dan
ilmu agama, yusuf nabi menunjukkan pengetahuannya yang luar biasa dalam
puisinya, menyentuh hampir semua persoalan agama, filsafat, roman, cinta,
anggur dan mistisme, ia juga membahas biografi, sejarah, bentuk prosa, geografi
dan rekaman perjalanan.
Dalam bidang sastra prosa, Kerajaan
Utsmani melahirkan dua tokoh terkemuka, yaitu Katip Celebi dan Evliya Celebi.
Dari semua penulis yang terbesar adalah Mustaha bin Abdullah, yang dikenal dengan
Katip Celebi atay Haji Halife (1609-1657 M). Beliau menulis buku bergambar
dalam karya terbesarnya Kasyf Az-Zunun fi Asmai-Kutub wa Al-Funun, sebuah
presentasi biografi penulis-penulis penting di dunia timur bersama daftar dan
deskripsi lebih dari 1.500 buku berbahasa Turki, Persia, dan Arab, ia pun
menulis buku-buku yang lain.
Pada masa Sultan Sulaiman, di kota-kota besar dan kota-kota lainnya
banyak dibangun masjid, sekolah, rumah sakit, gedung, jembatan, saluran air,
villa dan pemandian umum. Disebutkan bahwa 235 buah dari bangunan itu dibangun
di bawah koordinator Sinan, seorang arsitek asal Anatolia.
4.
Bidang Keagamaan
Menurut tradisi masyarakat Turki,
agama ialah salah satu faktor penting dalam transformasi sosial dan politik
seluruh masyarakat. Masyarakat diklasifikasi berdasarkan agama, dan kerajaan
Turki Utsmani sendiri sangat berkaitan erat dengan syari’at sehingga fatwa
ulama dapat dijadikan sebagai hukum yang berlaku. Ulama itu sendiri sangat
berperan penting pada wilayah kerajaan dan masyarakat. Pejabat urusan agama
tertinggi yang disebut dengan Mufti memiliki wewenang dalam memberi fatwa resmi
berdasarkan masalah-masalah keagamaan yang muncul dalam masyarakat. Tanpa
legitimasi Mufti, keputusan hukum bisa tidak berjalan.[3]
Pada bidang keagamaan pada masyarakat Turki mengalami beberapa kemajuan,
seperti dalam hal tarekat. Tarekat yang berkembang pada masa itu adalah tarekat
Bektasyi, dan tarekat Maulawi yang di mana kedua tarekat ini banyak dianut oleh
kalangan sipil dan militer. Tarekat Bektasyi banyak dianut oleh kalangan
Yeniseri sehingga mereka sering disebut dengan tentara Bektasyi. Sedangkan
tarekat Maulawi mendapat dukungan dari pihak kerajaan dan menjadi penyeimbang
Yenesseri Bektasyi.
Adapun mengenai kajian ilmu-ilmu
keagamaan Islam, seperti fiqh, ilmu kalam, tafsir dan hadits bisa dikatakan
tidak mengalami perkembangan. Dikarenakan para penguasa kerajaan hanya fanatik
terhadap satu faham (madzhab) saja. Seperti Sultan Abdul Hamid yang begitu
fanatik terhadap aliran Al-Asy’ariyah. Ia merasa perlu mempertahankan aliran
tersebut dari kritik aliran yang lain, seperti dengan memerintahkan kepada
Syaikh Husein Al-Jisr Ath-Tharablusi untuk menulis kitab Al-Husun
Al-Hamidiyah (Benteng Pertahanan Abdul Hamid). Kitab tersebut mengandung
tentang masalah kalam dan cara untuk melestarikan aliran kalam yang dianutnya.
Dengan sikap fanatik yang berlebihan ini maka bidang ilmu keagamaan khususnya
dalam masalah ijtihad tidak berkembang.
BAB III
PENUTUP
- KESIMPULAN
Usmani
adalah sebuah kerajaan Islam yang berpusat di Turki dan merupakan satu di
antara tiga kerajaan Islam yang besar pada Abad Pertengahan, selain Kerajaan
Safawi di Persia (Iran) dan Kerajaan Mughal di India. Dalam sejarah Islam, kerajaan ini didirikan oleh bangsa Turki
dari kabilah Oghus yang mendiami daerah Mongol dan daerah Utara Negeri Cina. Dalam jangka waktu kira-kira tiga abad,
mereka pindah ke Turkistan kemudian Persia dan Irak.
Kemajuan dan perkembangan ekspansi kerajaan Usmani yang demikian luas dan
berlangsung dengan cepat itu diikuti pula oleh kemajuan-kemajuan dalam
bidang-bidang kehidupan. Yang terpenting diantaranya adalah sebagai berikut : Bidang
Pemerintahan dan Militer, Bidang Ilmu Pengetahuan, Bidang Keagamaan.
Zaman keemasan Dinasti Turki Usmani
terjadi pada masa Sultan Sulaiman I (The
Great, The Magnificent, al-Qanuni). Penaklukan –penaklukan di lakukan daratan Eropa maupun
di Asia dan Afrika Utara.
Kerajaan
Usmani mulai melemah setelah wafatnya Sulaiman al-Qanuni. Sultan-sultan yang
menggantikannya umumnya lemah dan tidak berwibawa.
DAFTAR PUSTAKA
Amin, Samsul Munir.
Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: Amzah.2015
Supriyadi, Dedi. Sejarah Peradaban Islam. Bandung: CV
Pustaka Setia.2008
Yatim, Badri. Sejarah Peradaban Islam Dirasah Islamiyah
II. Jakarta: Rajawali Pers. 2014
Eva Fikriyah dan Arie Kurniawan. Sejarah Kebudayaan Islam. Diponegoro: CV
Sindunata.
Achmadi, Wahid, dkk. Menjelajahi Peradaban Islam. Sleman:Pustaka Insani Madani. 2006
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
ngan luppa comment yy