BAB II
PEMBAHASAN
A. Kerajaan-kerajaan Kecil di Timur Baghdad
Dinasti
Abbasiyah sebagai tonggak keberhasilah peradaban dan kebudayaan islam telah
memegang beberapa budaya dan wilayah yang cukup luas. Dikarenakan banyaknya
wilayah yang dikuasai oleh Dinasti Abbasiyah membuat khalifah tidak bisa diatur
sepenuhnya oleh khalifah. Secara riil, daerah-daerah itu berada di bawah
kekuasaan gubernur-gubernur provinsi yang bersangkutan. Hal itu mungkin
dikarenakan para khalifah tidak cukup kuat untuk membuat mereka tunduk
kepadanya, dan penguasa Dinasti Abbasiyah lebih menitikberatkan pembinaan
peradaban dan kebudayaan islam dari pada politik dan ekspansi.
Akibatnya dari kebijakan yang lebih
menitikberatkan peradaban dan kebudayaan islam dari pada politik dan ekspansi,
beberapaba provinsi di pinggiran
tertentu mulai lepas dari genggaman penguasaan Dinasti Abbasiyah. Dan
memerdekakan diri dari Dinasti Abbasiyah.
Adapun dinasti
yang lahir dan melepaskan diri dari penguasaan Dinasti Abbasiyah, diantaranya
adalah sebagai berikut:
Adapun dinasti yang lahir dan melepaskan diri dari penguasaan
dinasti abbasiyah, diantaranya adalah sebagai berikut:
1.
DINASTI
TAHIRIYAH
a.
Latar Belakang
Berdirinya Dinasti Tahiriyah
Dinasti
Tahiriyah didirikan oleh Tahir bin Husein pada tahun 205 H di Khurasan dengan ibukota Naisaburi. Tahir yang memiliki julukan “bermata satu” adalah keturunan bangsawan di Merv dan Harrah dan
Khuraza’. Sehingga tahir memiliki hubungan baik dan erat dengan keluarga Abbasiyah.
Tahir muncul ketika Dinasti Abbasiyah terjadi
perselisihan antara kedua pewaris tahta kekhalifaan setelah khalfah Harun
Ar-rasyid meninggal dunia pada tahin 809 M. Kedua pewaris itu adalah Muhammad
Al-Amin, anak Harun Ar-rasyid dari istri yang keturunannya arab sebagai
pemegang kekuasaan di Bagdad, dan Abdullah Al-Ma’mun, anak Harun Ar-rasyid dari
istri yang keturunan persia, sebagai pemegang kekuasaan wilayah sebelah timur
Baghdad.
Dalam
perselisihan itu, Tahir sebagai ahli perang yang berjuluk “bemata satu” berada
dipihak Ma’mun. Ia diutus oleh al-Ma’mun memimpin pasukan sebanyak 40 ribu
personel untuk menghadapi pasukan dari pihak Al-Amin yang dipimpin oleh Ali bin
Isa, dengan kekuatan 50 ribu personel tentara. Dalam pertempuran tersebut Tahir behasil
memperoleh kemenangan tepatnya di Rey, kota dekat Teheran pada tahun 811.
Tahir
juga mengalahkan pasukan kedua yang dikirim oleh Al-amin yang dipimpin oleh
Ar-Rahman Al-Jabar. Dengan dikirimnya pasukan Al-amin yang kedua untuk
mengambil kemenangan, Tahir melihat peluang baik yakni Ia mengarahkan
pasukannya ke Baghdad. Dengan
bantuan yang dikirim oleh Al-Ma’mun yaitu Harsamah dan Zubair, Tahir dapat
menaklukan Baghdad dalam waktu 2 bulan. Dan
Al-Amin sendiri terbunuh dalam peperangan yang kedua itu oleh salah satu
pasukan Tahir.
Atas
kemenagan dan kemahiran yang diraih Tahir bin Husein Al-ma’mun memberi gelar kepadanya “dzu yaminain”.
Degan kemenangan pula ia mendapatkan peluang besar dalam karier politiknya.
Tahir mendapatkan jabataban gubernur dari Al-ma’mun di wilayah timur Baghdad. Jabatan ini dipengangnya selama 2 tahun (205 H-207 H/ 820 M-822 M).
b.
Perkembangan
Politik, Peradaban dan Kebudayaan
Dalam
permulaan karier Tahir dalam bidang politik. Ia merasa belum puas dengan
kedudukan sebagai gubernur di wilayah Baghdad karena meski tunduk dengan
kekuasaan Baghdad. Oleh karena itu Tahir ingin melepaskan diri dengan kekuasaan
Baghdad pusat dengan menyusun strategi-strategi.
Antara lain tidak menyebut nama khalifah di setiap ada kesempatan, baik formal
atau pun non formal, dan tidak menggunakan mata uang yang dicetak, digunakan
oleh pemerintah Baghdad pusat.
Sayang ambisi untuk menjadi wilayah
otonom dari Dinasti Abbasiah tidak
teralisir, karena Tahir terlebih dahulu meninggal dunia sebelum meraih
cita-citanya. Sebab wafatnya Tahir karena
keracunan. Selama kurang lebih dua tahun menjabat. Pemerintah Abbasiyah
memberikan kekuasaan di wilayah timur Baghdad kepada
putranya Tahir yang bernama Thalhan bin Tahir.
Thalhan memegang kekuasaan di
Khurazan hanya sebentar. Ia meingkatkan hubungan baik dengan pemerintahan pusat
Baghdad dalam pemerintahannya. Setelah itu
kekuasaan Dinasti Tahiriyah di pegang Abdullah bin Tahir, saudara
Thalhan sendiri.
Sebagai penguasa wilayah turun
menurun, maka kokohlah Dinasti
Tahiriyah. Pada masa Abdullahbin Tahir ini Dinasti Tahiryah mencapai
kejayaannya. Ia memiliki pengaruh yang besar dalam pemerintahannya tersebut.
Usaha yang dilakukan Abdullah antara lain adalah meningkatkan kerja sama denga
pemeritah pusat Baghdad dalam menghadapi pemberontak dan pengacau seperti kaum
Khawarij (kaum/ kelompok yang keluar dari golongan/ pengikut Ali bin Abi
Thalib), memperbaiki perekonomian, memantapkan keamanan dan meningkatkan
perhatian terhadap ilmu pengetahuan dan akhlaq.
Peranan yang dimainkan oleh Dinasti
Tahiriyah selama kekuasaannya ialah mengamankan wilayah timur Bagdad dari
pengacau, dan pemberontak kepada Dinasti Abbasiyah, dan menahan
serangan-serangan liar dan brutal dari suku-suku kecil dengan melakukan
perampokan diwilayah kekuasaannya.
c.
Kemundurran
dan Kehancuran
Kemunduran
Dinasti Tahiriyah terjadi ketika dipimpin oleh
Muhammad bin Tahir. Pada masa pemerintahannya Khurazan mengalami kemunduran.
Meliputi kurangnya hubungan dengan pemerintah pusat, dan ketahanan dalam
melindungi wilayahnya. Bersamaan dengan hal itu, muncul Dinasti Saffariyah.
Dinasti yang didirikan oleh Ya’kub bin Lais As-Saffar memiliki
jiwa kepemimpinan pengelolahan pemerintahan yang baik dan kuat, teratur dan
sistematis. Hal itu bisa terbukti ketika Dinasti Tahirriyah runtuh karena
adanya pemerintahan Dinasti baru yaitu Saffariyah.
Sekalipun Muhammad bin Tahir ditunjuk kembali
oleh khalifah setelah dipecatnya Amr. Namun hal itu tidak bertahan lama setelah
itu kekuasaan wilayah daerah timur Baghdad di
kembalikan kepada Dinasti Saffariyah.
2. DINASTI SHAFARIYYAH
a.
Sejarah Berdirinya Dinasti Shaffariyyah
Dinasti
Saffariyyah didirikan oleh Ya’kub Ibn Al-Laits Al-Saffar pada tahun 867 – 903
M. Dinasti tersebut lebih singkat daripada
Dinasti Thahiriah. Namun ekspansi wilayahnya cukup luas. Ya’kub Ibn
Al-Laits berasal dari keluarga pengrajin tembaga dan kuningan dan semenjak
kecil bekerja di usaha milik orang
tuanya. Keluarga ini berasal dari Sijistan. Selain ahli dalam bidang pengrajin
besi dan kuningan ia juga di kenal mahir merampok dan hasil dari merampok
tersebut di berikan kepada fakir miskin.
Sejarah awal munculnya dinasti ini,
ketika terjadi peperangan antara pemerintah Sijistan dengan para pemberontak
Thahiriyah di wilayah Sijistan. Ya’kub Ibn Al-Laits Al-Saffar mendapat simpati
dari pemerintah Sijistan. Karena dinilai memiliki kesopanan dan keberanian.
Oleh karena itu di tunjuklah ia menjadi panglima perang untuk memerangi
pemberontak terhadap Daulah Abbasiyyah bagian timur khususnya Sijistan. Ketika
Ya’kub menjadi panglima perang, ia berhasil mengalahkan para pemberontak.
kemudian ia bersama prajuritnya bergerak untuk menguasai wilayah yang lain
dengan tanpa menghiraukan perintah dari Baghdad setelah ia menjabat menjadi
amir di Khurasan. Selanjutnya ia menguasai kota Harat dan Busang. Akhirnya ia
juga menjadi pemimpin di daerah itu.
Ya’kub juga menaklukan sisa-sisa
kekuasaan yang pernah di kuasai oleh Thahiriyah yang masih setia pada Khurasan.
Namun ekspansi yang mereka lakukan tidak memiliki izin kepada pemerintahan
pusat di Baghdad. Sehingga pemerintah Baghdad memperingatkannya namun mereka
tidak memedulikan peringatan tersebut. Ia malah menentang dan meneruskan ke
Persia, Irak, Ahwaz. Dari faktor inilah bahwa wilayah Dinasti Saffariah luas.
Kerasnya
sikap Ya’kub dan para penentangnya terhadap perintah khalifah. Prajurit dan
bala tentara yang cukup luas. Kekuasaan yg baru di jajah oleh Ya’kub membuat
khalifah Abbas di Baghdad melemah. Dengan adanya kelemahan ini sebagian
kekuasaan milik Abbas diserahkan kepada Ya’kub. Adapun kekuasaannya yang di
berikan adalah Khurasan, Tibrasan, Jurjan, dan Ar-Ra.
Setelah
masa kepemimpinan Ya’kub selama 11 tahun, setelah itu pada tahun 878 M ia
meninggal, kemudian di teruskan oleh saudara, Amr Ibn Al-Laits As-assaffar.
Sikap Amr tidak keras seperti saudaranya Ya’kub. Sebelum Ya’kub mengangkat Amr,
Amr sendiri telah memberikan surat kepada pemerintahan Baghdad. Yang isi dari
surat itu untuk mengikuti semua perintah yang di berikan pemerintah Baghdad
kepada daerahnya. dengan demikian Amr mendapat dukungan dari Bagdhad.
Perluasan
wilayah pada masa pemerintahan Amr tidak hanya sampai Iran saja sudah
sampai Afghanistan timur bahkan
perbatasan India. Atas keberhasilan yang di capainya, Amr mendapatkan
penghargaan dari pemerintah Irak yakni wilayah Khurasan dan Ray. Meskipun telah
mendapatkan wilayah tambahan. akan tetapi Amr masih ingin ekspansi wilayah
lagi. Akan tetapi di perjalanan pasukan Amr di diserang, dan Amr sendiri
menjadi tawanan oleh musuh yaitu Ismail Bin Ahmad beserta kelompoknya.
Sepeninggalan
Amr Ibn Al-laits, kekuasaannya di gantikan oleh cucunya yakni Thahir Ibn
Muhammad bin Amr. Ia memegang pemerintahan di bantu oleh saudara kakeknya.
Semenjak
di gantikan oleh cucunya ini banyak terjadi kemunduran terlebih pada lagi
masalah dari dalam yakni menuntut untuk mengambil kembali kekuasaan Amr karena
menurut mereka yang menjadi penguasa
yang sebenarnya adalah Ali ibn Al-Laits. Sesuai dengan amanat dari penguasa
terdahulu yakni Ya’kub. Akhirnya Thahir bin Muhammad beserta saudara,
Al-Muaddal ditahan dan di usir ke Baghdad akibat serangan Dinasti
Samaniyah pada tahun 298 H./911 M.
Hal
tersebut juga menjadi penyebab terjadi ketidak stabilan di pemerintah pusat.
Hal ini dimanfaatkan oleh Ahmad bin Muhammad bin ‘Ali untuk dapat menjadi
pemimpin dari Dinasti Saffariyah. Ia berkuasa selama 40 tahun lamanya, Ahmad
juga mampu memperluas kekuasaan Dinasti Saffariyah ke Bust dan Rukhaj, dan ia
juga mengembalikan fungsi Sistan seperti sediakala, yakni menjadi salah satu
basis kekuatan politik di belahan timur dalam dunia Islam. Setelah 40 tahun
masa kekuasaanya, Ahmad dibunuh oleh salah seorang budaknya, tepatnya pada
bulan Rabiul awal 352 H. secara tidak langsung kekuasaan sebagai pemimpin
dinasti pun kosong sampai kepemimpinan tersebut di isi oleh putra Ahmad, Khalaf
namanya. Ia menjadi pemimpin sejak tahun 352 H., tepat sesaat setelah ayahnya
meninggal dunia.
Khalaf
merupakan pemimpin terakhir Dinasti Saffariyah sebelum dinasti ini berkhir di
tahun 393 H./1003 M.
Sebelum
dinasti ini berakhir, dimasa kepemimpinan dari Khalaf, dalam menjalankan
pemerintahan, ia bekerja sama degan seorang panglima Sistan yang bernama Abu
Al-Husain Tahir bin Muhammad.
Awal
dari kehancuran Dinasti Saffariyah dimulai sejak Khalaf yang menunaikan ibadah
haji ke Tanah suci, menunjuk Abu Al-Husain Tahir sebagai wakilnya dalam
mengatur pemerintahan Dinasti Saffariyah kala itu. Namun hal ini justru
dimanfaatkan oleh Abu untuk mengambil alih kekuasaan. Dikarenakan Abu tidak mau
mengembalikan kekuasaan ketangan Khalaf, maka Khalaf meminta bantuan militer
kepada Dinasti Samaniyah untuk membantunya merebut kembali kekuasannya sebagai
pemimpin Dinasti Saffariyah.
b.
Kemajuan yang Dicapai
Setelah
Ya’qub memproklamirkan dirinya menjadi penguasa baru dan dilanjutkan dengan
ekspansi ke wilayah-wilayah di sekitarnya, kemudian pada dua tahun berikutnya,
ia mempersiapkan kekuatan baru, sambil menunggu bagaimana reaksi pihak khilafah
Abbasiyah. Ia menyaksikan kerusuhan di sana sini sebagai reaksi atas
pemerintahan al-Mu’tazz, dan pada tahun 255 H terjadilah puncak kemelut di
ibukota Samarra. Demikian pula khalifah penggantinya pun, khalifah al-Muhtadi,
dianggap sebagai khalifah yang lemah. Sehingga wibawa pemerintah tampak
berkurang.
Menyusul
kesuksesan sebelumnya, maka pada tahun berikutnya ia melanjutkan penguasaan
atas kota Kabul dan kota bentang Balkh. Ia juga merebut Khurasan pada tahun
260H/873 M. Meskipun kesuksesan banyak dicapai oleh Ya’qub tetapi hubungan
dengan pemerintahan Abbasiyah masih baik. Hubungan baik dengan Abbasiyah itu
semakin mengukuhkan pemberian khalifah atas beberapa kota penting antara lain
Balkh, Thurkhanistan, Kirman, Sijistan, dan daerah lainnya.
Dalam
perjalanan sejarah berikutnya tampaknya Ya’qub memang berpotensi menjadi
pemimpin besar. Ia terus melebarkan kekuasaannya sampai di wilayah
Khurasan. Hal ini menyebabkan, khalifah merasa terancam kedudukannya di
Baghdad, sehingga khalifah memberi peringatan, akan tetapi Ya’qub tidak
mengindahkan peringatan tersebut, bahkan menentangnya dengan mengandalkan
kekuatan pasukannya. Melihat besarnya kekuatan pasukan Ya’qub, khalifah pun
membiarkannya dan mengutus karir untuk menyerahkan wilayah Khurasan,
Thibristan, Jurjan, al-Ra dan Persia, sekaligus mengangkatnya sebagai amir.
Kegemilangan
Ya’qub dalam perluasan wilayah ini menjadikannya berkeinginan untuk menguasai
Baghdad. Tetapi upayanya ini tidak berhasil karena sekitar dua puluh kilometer
dari ibukota, ia mengalami kekalahan pahit di tangan al-Muwaffaq, wali khalifah
dan meninggal pada tahun 265H/879 M[30], sebelum
perundingan dengan al-Muwaffaq selesai. Segera saja wali mengakui saudaranya
Amr ibnu al-Lais sebagai penggantinya, sebagai gubernur semua wilayah yang
telah ditaklukkan.
c.
Kemunduran dan Kehancuran
Dengan
meninggalnya Ya’qub, Amr ibnu Lais diakui sebagai gubernur. Di tangan Amr, ia
menerima kekuasaan atas penetapan khalifah al-Mu’tamid, karena sebelumnya ia
mengirim surat kepada khalifah sebagai pernyataan ketaatannya. Ia pun akhirnya
diakui khalifah sebagai gubernur Sijistan. Di tangan Amr, ia pun tetap berusaha
memperluas kekuasannya, ia menginginkan wilayah Transoxania, yang saat itu
secara formal berada di bawah penguasaan Dinasti Thahiriyah, tetapi
sesungguhnya yang berkuasa di sini adalah Bani Samaniyyah, dan ini lebih kuat
dari pada Shaffariyah. Pasukan Amr dapat dikalahkan oleh pasukan Ismail ibnu
Ahmad dari Bani Samaniyyah, dan kemudian Amr sendiri ditangkap. Akhirnya semua
hasil penaklukan terlepas kembali, dan hanya Sijistan yang masih berada dalam
kekuasaannya.
Sebenarnya
ada tiga orang pengganti Amr ini, tetapi ketiga-tiganya kurang mendapatkan
perhatian oleh para sejarawan. Ketiga penerus itu adalah Thahir ibnu Muhammad
(900-909 M), al-His ibnu Ali (909-910 M), dan al-Mua’addil ibnu Ali (910-911
M). Dinasti ini semakin melemah karena pemberontakan dan kekacauan dalam
pemerintahan. Akhirnya Dinasti Ghaznawi mengambil alih kekuasaan Dinasti
Shaffariyah. Setelah penguasa terakhir Dinasti Shaffariyah, Khalaf meninggal
dunia, berakhir pula kekuasaan Dinasti Shaffariyah di Sijistan.
3. DINASTI
SAMANIYYAH
a. Sejarah Berdirinya
Dinasti Samaniyah
Berdirinya dinasti ini bermula dari pengangkatan empat
cucu Saman oleh Khalifah Al-Ma’mun menjadi gubernur di daerah Samarkand,
Pirghana, Shas, dan Harat yang ada di bawah pemerintahan Thahiriyah pada waktu
itu. Akan tetapi, ternyata, selain mempunyai hasrat untuk menguasai wilayah
yang diberikan khalifah kepada mereka, keempat cucu tersebut simpati dengan
Persia, Iran, termasuk Sijistan, Karma, Jurjai, Ar-ray, dan Tubanistan,
ditambah lagi daerah Thansosiana di Khurasan.
Berdirinya Dinasti Samaniyah didorong pula oleh
kecenderungan masyarakat Iran pada waktu itu yang ingin memerdekakan diri
terlepas dari Baghdad. Oleh karena itu tegaknya Dinasti Samaniyah ini bisa jadi
merupakan manivestasi dari hasrat masyarakat Iran pada waktu itu. Adapun
pelopor yang pertama kali memproklamasikan Dinasti Samaniyah ini adalah Nasr
Ibnu Ahmad (874 M), cucu tertua dari keturunan Samaniyah, bangsawan Balk
Zoroesterian, dan dicetuskan di Transoxiana.
Dinasti Samaniyah ini berhasil menjalin hubungan yang
baik, sehingga berbagai kemajuan pada dinasti ini cukup membanggakan, baik
dibidang ilmu pengetahuan, filsafat, dan juga politik. Pelopor yang sangat
berpengaruh dalam filsafat dan ilmu pengetahuan pada saat ini, yaitu Ibnu Sina,
yang pada waktu itu pernah menjadi mentri. Dinasti ini juga mampu meningkatkan
taraf hidup dan perekomonian masyarakat. Hal ini diakibatkan adanya hubungan
yang baik antara kepala-kepala daerah dan pemerintah pusat yaitu Dinasti Bani
Abbas.
b. Kemajuan-Kemajuan yang
di Capai
Dinasti Samaniyah telah memberikan sumbangan yang sangat berharga bagi
kemajuan Islam, baik dalam bidang ilmu pengetahuan, filasafat, budaya, politik,
dan lain-lain. Tokoh atau pelopor yang sangat berpengaruh dibidang filsafat dan
ilmu pengetahuan pada dinasti ini adalah Ibn Sina, selain Ibn Sina juga muncul
para pujangga dan ilmuwan dibidang kedokteran, astronomi dan filsafat yang
sangat terkenal, seperti Al-Firdausi, Ummar Kayam, Al-Bairuni dan Zakariya Al-
Razi.
Dinasti ini telah berhasil menciptakan kota Bukhara dan Samarkan sebagai
kota budaya dan kota ilmu pengetahuan yang sangat terkenal di seluruh dunia,
sehingga kota ini dapat menyaingi kota-kota lain, seperti Baghdad dan Cordova.
Dinasti ini juga telah berhasil mengembangkan perekonomian dengan baik,
sehingga kehidupan masyarakatnya sangat tentram, hal ini terjadi karena dinasti
ini tidak pernah lepas hubungan dengan pemerintah pusat di Baghdad.
Berakhirnya Dinasti Samaniyah di Transoxiana dan kota Bukhara serta
Samarkand sebagai kota utama sangat berpengaruh pada penerapan ajaran-ajaran
Islam. Kedua kota ini sebagai pusat ilmu pengetahuan dan kebudayaan,
hampir-hampir menyamai kebesaran kota Baghdad. Tidak hanya para ilmuwan Arab,
ilmuwan Persia pun mendapat perlindunagn dan dukungan dari pemerintah untuk
pengembangan ilmu pengetahuan.
Tidak hanya berhenti sampai di situ, ilmu kedokteran, ilmu falak serta
filsafat juga mengalami kemajuan dengan disusun dan direkonstruksi serta
diterjemahkan bahasa Persia ke bahasa Arab. Diantara beberapa literatur di
bidang kedokteran yang terkenal masa itu adalah buku al-Manshury yang dikarang
oleh Abu Bakr al-Razzi. Pada masa ini muncul pula filosof muda belia yakni Ibnu
Shina yang berhasil mengobati Amir Nuh bin Mansur pada saat Ibnu Sina berusia
delapan belas tahun. Di bidang kesusastraan muncul al-Firdausi (934-1020) yang
menulis sajak-sajaknya. Tercatat juga dalam sejarah seorang wazir pada
pemerintahan al-Manshur I bin Nuh (961-976) yang bernama Bal’ami. Ia
menerjemahkan Mukhtasar al-Thabari. Bahkan perpustakaan milik Dinasti Samaniyah
yang berada di Bukhara memiliki berbagai koleksi buku yang tidak dijumpai di
tempat lain. Begitu tingginya peradaban umat manusia di masa Dinasti Samaniyah
ini, terlebih lagi bila dibandingkan dengan keadaan peradaban yang terjadi pada
kedua dinasti sebelumnya. Tidak hanya dalam bidang sains dan filsafat yang
berkembang dimasa ini tetapi juga dalam bidang ilmu-ilmu keislaman.
c. Masa-Masa Kemunduran
Pada saat dinasti mencapai kejayaannya, banyak imigran Turki yang menduduki
posisi penting dalam pemerintahan, namun bersebab dari tingginya fanatik
kesukuan pada dinasti ini, akhirnya mereka para imigran Turki yang menduduki
jabatan penting dalam pemerintahan tersebut banyak yang dicopot,
langkah-langkah inilah yang menyebabkan kehancuran dinasti ini, karena mereka
tidak terima dengan perlakuan tersebut, sehingga mereka mengadakan penyerangan
sampai mereka berhasil melumpuhkan dinasti ini. Sebagai bahan perbandingan
penulis menambahkan, jika pada masa Dinasti Umayyah, wilayah kekuasaannya masih
merupakan kesatuan yang utuh, yaitu suatu wilayah yang luas membentang dari
Spanyol di Eropa, Afrika Utara, hingga ke Timur India, pada masa Dinasti
Abbasiyah mulai tumbuh dinasti saingan yang melepaskan diri dari kekuasaan
Khalifah di Baghdad, yang di mulai dengan terbentuknya Dinasti Umayyah II di
Spanyol, sehinnga kekuasaan kekhalifahan terpecah menjadi dua bagian, yaitu
Dinasti Abbasiyah yang berpusat di Baghdad dan Dinasti Umayyah II yang berpusat
di Andalusia, Spanyol.
4.
DINASTI GHAZNAWIYAH
a.
Sejarah Berdirinya Dinasti Ghaznawiyah
Terbentuknya Dinasti Ghaznawiyah berawal dari pemimpin Dinasti
Samaniyah yang bernama Abd Malik ibn Nuh
yang membeli seorang budak bernama Alptagin. Karena potensi yang dimilikinya dan kesetiaannya,
Abd Malik ibn Nuh mengangkat dia menjadi pegawal istana, dan karirnyapun terus
meningkat sampai ia diangkat menjadi gubernur di wilayah Khurasan. Namun
jabatan itu tidak bertahan lama, karena dipecat oleh pemimpin baru yaitu
Manshur ibn Nuh yang menggantikan Abd Malik ibn Nuh setelah beliau wafat.
Kemudian dia pergi ke Afghanistan beserta tentaranya dan menetap di kota Ghazna
serta membentuk pemerintahan di Gazna pada tahun 350 H/961 M.
Pada tahun 963 M
Alpatigin meninggal dunia dan digantikan oleh anaknya yang bernama Ishaq. Ishaq
yang kurang cakap dalam memerintah akhirnya kepemimpinan diteruskan oleh
Sabaktagin yaitu seorang budak Turki yang pernah bekerja bersama Alptagin. Dan
Sabaktigin inilah yang membentuk Dinasti Ghaznawiyah serta pendiri dari Dinasti
Ghaznawiyah.
b.
Masa Kejayaan dan Hasil
Peradaban
Dinasti Ghaznawiyah mencapai masa kejayaan pada pemerintahan Mahmud
Ghaznawi ibn Sabakti gin yaitu cucu dari
Sabaktigin. Mahmud Ghaznawi adalah seorang pemimpin yang terkenal dan sukses
pada Dinasti Ghaznawiyah. Pada masa pemerintahannya, dinasti ini menjadi sebuah
kerajaan paling maju dan makmur di Asia Tengah. Mahmud Ghaznawi dikenal sebagai
seorang yang shaleh dan mempunyai komitmen yang sangat tinggi pada ilmu
pengetahuan dan peradaban
Dibawah pimpinannya beliau melakukan
perluasan wilayah islam sampai ke India. Dengan mengalahkan raja-raja Hindu dan
Punjab serta bagian-bagian daerah Sind. Ia juga menyerang Nagarakot dan
menaklukan Negeri Dawab. Hingga berhasil memperluas daerahnya sampai ke
Bukhara, Transoksania, juga daerah Rayy dan Isfahan. Dalam rangkaian peperangan
berikutnya Mahmud Ghaznawi mampu menundukkan raja-raja Punjab dan Kota
Al-Maltan. Ia dan pasukannya menghancurkan Candi Somanat. Wilayah yang kuasai
Ghaznawi meliputi sebagaian wilayah India, Afghanistan, Pakistan, Iran, dan
Irak.
Selain perluasan Wilayah,
perhatiaannya pada ilmu pengetahuan sangat besar. Beliau menghimpun para
sarjana dan pujangga untuk mengembangkan ilmu dan penyelidikan ilmu,
diantaranya yaitu Abu Raihan Muhammad ibn Ahmad Al-Biruni seorang ahli astronomi
dan matematika. Ilmuan yang lain Al-Firdausi yaitu seorang penyair, arsitek dan
seni lainnya.
Mahmud
Al-Ghaznawi juga melaksanakan kegiatan-kegiatan ilmiah, diantaranya:
(1)memprakarsai suatu karya besar dalam penulisan tafsir al-quran berdasarkan
metode qiraah dengan penjelasan ilmu nahswu dan sharaf serta sumber dari
hadist.menganjurkan kepada ulama dan filusuf islam terhimpun dalam majelis
Ma’mun bin Al-Ma’mun agar dapat mengambil manfaat dari ilmu yang mereka miliki.
Dalam bidang pembangunan, Mahmud
menmabngun istana di Afghan, Shal, taman Sad Hasan, istana Fauzi masjid Arus Al
Falah, sekolah, dan perpustakaa. Majid Arus Al Falah merupakan masjid yang
megah dan indah di Ghazna. Selian itu, ia juga membangun kandang besar
berkapasitad 1000 ekor binatang. Mas’ud ibn Mahmud membanun masjid megah yang
dirancang sendiri pada tahun 1035-1036 M.
c.
Masa Kehancuran
Kemunduran Dinasti Ghaznawiyah dimulai ketika Mahmud ibn Sabaktigin
wafat pada tahun 421H/1030 M. Penerusnya yaitu anaknya yang bernama Muhammad.
Ia berusaha mengembalikan kejayaan Dinasti Ghaznawiyah, namun itu tidak
berhasil. Penerusnya ini tidak mampu menjaga stabilitas dalam negeri dan
serangan dari luar. Hal ini diperparah dengan terjadinya pertikaian antara
generasi penerus selanjutnya. Muhammad ibn Mahmud bertikai dengan saudaranya
Mas’ud karena perbedaan kepentingan. Dan pertikaian ini dimenangkan oleh Mas’ud
dengan dukungan militer dan ia pun berkuasa. Pemerintahan dan politik yang
demikian ini kemudian dimanfaatkan oleh Bani Saljuk untuk menguasi Khurasan dan
Khawarizm.
Selain itu, faktor lain yang menyebabkan kemunduran adalah
terjadinya perebutan kekayaan antara anggota kerajaan. Hal ini terjadi setelah
Mudud ibn Mas’ud menjabat kepentingan Dinasti. Stabilitas negara menjadi lemah
dan buruk. Hal ini menjadikan seringnya terjadi pergantian penguasa. Selain
itu, mereka disibukkan peperangan melawan Bani Saljuk di di Sijistan dan
Afghanistan Barat. Sedangkan di bagian lain juga direbut oleh Dinasti Guriyah.
Akhirnya penguasa hanya memerintah di Punjab yang lama kelamaan juga
menyerahkan kekuasaan kepada Dinasti Guriyah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
ngan luppa comment yy